“Voices” from behind the monument

“Suara-suara” dari balik monumen

I Ngurah Suryawan

To understand power, it takes more than citing the marginalised at face value, believing it as the true and uncorrupted “natural voices of the resistance”.  Texts produced by the so-called marginal masses are nonetheless created by a handful of "brahmins" among thousands of pariahs. The hierarchical social world among beggars, prostitutes, former political prisoners, felons, traffickers, thugs, and workers not only cultivates solidarity among them, but it is also where they strike, cut, and kill each other due to the life structure that binds them. 

(Degung Santikarma, "Anthropological Performance in Indonesia", Kompas, 7 July 2004)

Introduction

Without much thought, we acknowledge the presence of monuments – from those lined up on the city main streets, to other public spaces. Through a monument, the truth of a social recollection can be institutionalised. Also by erecting a monument, recognition and victory are claimed. History and culture are used to being built through monuments, they are memories frozen in time. For this reason, presenting alternative voices on various matters, especially those related to violent tragedies, has become a necessity. The presence of every singular narrative (homogenous), and the reluctance of people to present the alternative ones, should be suspected as an attempt of silencing. 

Back to monuments, in Denpasar City, stands regally one called Monumen Perjuangan Rakyat Bali, which commemorates Balinese people’s long struggle against colonisation. Another name for it is Bajra Sandhi, because it is in the shape of bajra (bell). This monument presents "the official history" of civilisation in Bali. An object of interest is the diorama set about the history of Balinese movements and struggles on the 2nd floor. It illustrates the heroic puputan struggle, until its very end, against the Dutch and Japanese colonialists; followed by more struggles to hold the land of Bali during the independence revolution in the 1940s and after it. Up to this point, nothing seems out of the ordinary. I heard these narratives often during history lessons in high school. However, I find it suspicious that it immediately cuts to 1966 with the establishment of the New Order and its various developments in Indonesia, though even my generation knows, that in the 1960s there was a dark incident involving a massacre in this country, of those who were accused of being sympathisers and members of the PKI (Indonesian Communist Party), by their own brothers. But to my surprise, the diorama (of such atrocities) did not exist at all. It got me wondering what is wrong with this monument and this diorama? What was this monument built for? For whose interests? Whose victory?  

The “Other” Monument

Far away from Denpasar City, on the western edge of Bali island, specifically in Melaya and Tegalbadeng Villages, Jembrana Regency, I found a monument of a different kind. Unlike Monumen Perjuangan Rakyat Bali which is managed by the state, it only consists of old wells that are not maintained. Near them stands a simple shrine, supported by a brittle bamboo structure – its appearance a far cry from the extravagant monuments on the main roads in the city, with their statues of heroes made of concrete. It is a monument "lost" to the history of the people. A monument that could not be built grandly, yet preserved as a means of remembering certain historical events. 

That monument is a cluster of wells where victims of the PKI massacre were dumped, stuffed, and buried unceremoniously. That monument and its dark history have lost the battle and become the haram2 version to be brought up again. The institutionalisation of memory done by the state and its authority has pushed it aside. The same applies to the social recollection of the victims, which has been silenced by the victors of history. 

In addition to that, I then recalled a field research I had done when writing about the tragedy of the massacre in Bali, specifically in West Bali. Tegalbadeng Villages are located on the outskirts of Negara City centre, Jembrana Regency. Its secluded location has indeed made it localised. There are two villages, West Tegalbadeng and East Tegalbadeng. 

Going through a footpath densely surrounded by trees, I saw that there were still plenty of rice fields being cultivated by the local residents. In East Tegalbadeng, the houses were built far apart, unlike West Tegalbadeng which has turned into a housing complex with the establishment of Tegalbadeng National Housing. In East Tegalbadeng, on a slightly damaged and flooded dirt road, I saw a simple house standing solitarily and far away from the local residential areas. When I got there, I was greeted by an elderly man, his face starting to wrinkle. He was welcoming and invited me, along with my companions, to lounge in his yard. That elderly man was Mangku Nata, whom I met on 18 February 2004.

Untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil suara mereka yang terpinggir sebagai “suara alamiah perlawanan” yang murni dan tak terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan oleh segelintir “brahmana” di antara ribuan massa paria. Dunia sosial berhierarki di antara para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jagal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya.

(Degung Santikarma, “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas, 7 Juli 2004) 

Pendahuluan

Tanpa berpikir panjang, kita mengakui keberadaan monumen – dari yang berentet di jalan-jalan utama kota, hingga di tempat-tempat umum lainnya. Melalui monumen, ingatan sosial bisa dilembagakan kebenarannya. Dengan mendirikan monumen juga, pengakuan dan kemenangan menjadi mutlak dimiliki. Sejarah dan kebudayaan sudah terbiasa terbangun lewat monumen-monumen, mereka adalah ingatan yang dibekukan. Oleh sebab itulah, menghadirkan suara-suara alternatif dalam berbagai hal, apalagi yang berkaitan dengan tragedi kekerasan, menjadi sebuah keniscayaan. Keberadaan setiap narasi tunggal (homogen), dan keenganan warga untuk menghadirkan narasi alternatif, patut dicurigai sebagai usaha pembungkaman. 

Kembali soal monumen, di Kota Denpasar, berdiri megah salah satunya bernama Monumen Perjuangan Rakyat Bali, yang mengenang perjuangan panjang melawan penjajahan. Nama lainnya adalah Bajra Sandhi, karena monumen tersebut berbentuk bajra (genta). Monumen tersebut menghadirkan "sejarah resmi" dari peradaban di Bali. Yang menarik adalah deretan diorama tentang pergerakan dan perjuangan Bali di lantai 2. Diorama mengilustrasikan bagaimana heroiknya perjuangan puputan, sampai titik darah penghabisan, untuk melawan penjajah Belanda dan Jepang; dilanjutkan dengan perjuangan untuk mempertahankan tanah Bali pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1940-an dan setelahnya. Sampai di sini memang tidak terlalu istimewa. Narasi ini sering saya dengar saat pelajaran sejarah SMU dahulu. Tapi saya curiga, bahwa diorama langsung melompat ke tahun 1966 saat berdirinya Orde Baru dan berbagai pembangunannya di Indonesia, padahal generasi seusia saya pun tahu, di tahun 1960-an itu ada sebuah peristiwa kelam tentang pembantaian sesama manusia di negeri ini, yang dituduh simpatisan dan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), oleh saudaranya sendiri. Tapi saya heran, diorama (kekejaman) itu sama sekali tidak ada. Saya jadi berpikir apa yang salah dengan monumen dan diorama ini? Untuk apa monumen ini dibangun? Untuk kepentingan siapa? Kemenangan siapa? 

Monumen yang “Lain”

Jauh dari Kota Denpasar, di pinggiran barat pulau Bali, tepatnya di Pedesaan Melaya dan Tegalbadeng, Kabupaten Jembrana, saya menemukan monumen dengan versi yang lain. Tidak semegah Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang dikelola oleh negara, ia hanya berupa sumur-sumur tua yang tak terawat. Di dekatnya berdiri sebuah pelinggih sederhana, disangga bambu yang mulai rapuh – tampilannya jauh dari monumen-monumen megah di jalan-jalan utama kota, dengan patung-patung pahlawannya yang berbahan beton. Ini adalah monumen yang “hilang” dalam sejarah masyarakat. Monumen yang terpaksa tidak dibangun megah demi mengingat peristiwa sejarah tertentu.

Monumen sederhana itu adalah sumur-sumur tempat para korban pembantaian PKI dibuang, dijejal, dan dikubur seadanya. Monumen itu dan sejarah kelamnya telah kalah dalam pertarungan dan menjadi versi yang haram untuk diungkit-ungkit kembali. Pelembagaan ingatan yang dilakukan oleh negara dan kekuasaannya memaksa monumen itu tersingkir. Begitu juga ingatan sosial para korban yang terbungkam oleh para pemenang sejarahnya. 

Tidak hanya itu saja, saya kemudian teringat kembali penelitian lapangan yang pernah saya lakukan saat menulis tragedi pembantaian massal di Bali, khususnya di Bali Barat. Pedesaan Tegalbadeng letaknya masuk ke dalam dari pusat Kota Negara, Kabupaten Jembrana. Letaknya yang masuk ke dalam membuatnya memang terlokalisir. Ada dua desa yaitu Tegalbadeng Barat dan Tegalbadeng Timur.

Memasuki jalan-jalan setapak dengan pepohonan yang lebat, saya melihat masih banyak lahan-lahan persawahan yang digarap oleh penduduk setempat. Di Tegalbadeng Timur, rumah-rumah sangat berjauhan jaraknya, berbeda dengan Tegalbadeng Barat yang telah menjadi kompleks perumahan dengan adanya Perumnas Tegalbadeng. Di Tegalbadeng Timur, di jalan tanah yang mulai rusak dan digenai air, saya melihat sebuah rumah sederhana berdiri sendiri jauh dari pemukiman penduduk lainnya. Sampai di rumah itu, saya disapa oleh seorang lelaki renta, wajahnya mulai keriput. Ia sangat ramah dan mempersilahkan saya serta beberapa kawan untuk duduk di pelataran rumahnya. Lelaki renta itu Mangku Nata yang saya temui pada 18 Februari 2004.  

An entry sign to East Tegalbadeng Village in 2004 (Photo: I Ngurah Suryawan)
Tugu masuk menuju Desa Tegalbadeng Timur pada tahun 2004 (Foto: I Ngurah Suryawan)

Tegalbadeng was peaceful for several weeks in August 1965, until news came from East Tegalbadeng in early November, that there was a letter containing a list of 220 heads of family who were "marked" and had to be killed. Coincidentally, they happened to be Hindus, and some did end up being killed by the Muslim residents and soldiers from East Tegalbadeng and Baduk – a neighbouring village. The massacre was carried out on 10 are (1000 sqm) of land indicated by bamboo poles. Currently, on this land stands proudly Baluk Village Hall and Baluk Village Head's Office. Displayed at the entrance is the Garuda Pancasila1 with the slogan: “Bali towards Sapta Pesona (Clean, Safe, Sustainable, Beautiful)." Those who were marked were brought from throughout the village at 8 p.m. At 9 to 10 p.m., their hand ties and blindfolds were removed. Then, the massacre started and went on until 5 a.m. by the tameng (civilian militia) wearing black hats and trousers, and armed with a klewang (long swords)", said Mangku Nata. Ultimately, at Baluk Village Hall, more than 300 people were massacred.  

Tiang (I) remembered and witnessed it myself when they dragged the corpses that had to be buried in the residents' wells. "People's heads were propped up and held, then cut off with a klewang," said Mangku Nata, who now lives with his wife, son, daughter-in-law, and grandchildren in a simple house in Tegalbadeng.

Mangku's testimony reminded me that on my way there, I passed a temple by the roadside. I later learned from him that the temple is Pura Pande, which was rumored to be a place for illegal meetings for PKI members in Tegalbadeng. Now it is densely covered with plants. I briefly entered the temple and there was indeed a large yard now overgrown with tall grass. Adjacent to the temple is a row of houses extending further back through a small alley. This row of houses is a family group of pande residents (one of the bloodlines of the Balinese people).

Tegalbadeng sempat tenang untuk beberapa minggu pada Agustus 1965, hingga ada berita dari Tegalbadeng Timur pada awal November, bahwa ada surat berisi daftar 220 Kepala Keluarga yang masuk “kena garis” dan harus dibantai. Kebetulan ke-220 KK itu beragama Hindu, dan akhirnya beberapa di antara mereka pun dibantai oleh penduduk Muslim dan tentara di Tegalbadeng Timur dan Desa Baluk – desa tetangga di sebelahnya. Pembantaian dilakukan di lahan seluas 10 are yang sudah dipasangi patok-patok dari bambu. Kini di lahan tersebut berdiri megah Balai Desa Baluk dan Kantor Kepala Desa Baluk. Di depannya terpampang megah bangunan beton dengan lambang Garuda Pancasila dan slogan Bali menuju Sapta Pesona (Bersih, Aman, Lestari, Indah). “Mereka yang kena garis dibawa dari seluruh desa jam 8 malam. Jam 9 sampai 10 malam, tali yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata dilepas. Mulailah dilakukan pembantaian sampai pukul 5 pagi oleh para tameng (milisi sipil) dengan memakai topi hitam, celana panjang hitam bersenjatakan klewang (pedang yang berukuran panjang)”, cerita Mangku Nata. Pada akhirnya, di Balai Desa Baluk itu lebih dari 300 orang tewas dibantai. 

Tiang dulu ingat dan meyaksikan sendiri saat mereka menyeret mayat-mayat yang harus dikubur di lubang-lubang sumur penduduk. Kepala orang disandarkan dan dipegang, kemudian dipenggal dengan klewang,” tutur Mangku Nata yang kini tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucunya di rumah sederhana di Tegalbadeng.

Penuturan Pak Mangku membuat saya teringat, ketika sedang menuju kesana, saya sempat melewati sebuah pura di pinggir jalan. Dari Beliaulah kemudian saya tahu pura itu adalah Pura Pande yang disebut-sebut menjadi tempat rapat gelap anggota PKI di Tegalbadeng. Kini kondisinya tertutup oleh tanaman yang menjulang tinggi. Saya sempat memasuki pura tersebut dan memang ada halaman yang luas yang kini ditumbuhi rerumputan. Bersebelahan dengan pura terdapat deretan rumah hingga masuk ke dalam melalui gang kecil. Deretan rumah inilah yang merupakan kelompok keluarga warga pande (salah satu garis keturunan darah orang Bali).

I entered Pura Pande in Tegalbadeng Village one day in 2004, which became one of the first witnesses to the mass massacre in West Bali (Photo: I Ngurah Suryawan)
Saya memasuki Pura Pande di Desa Tegalbadeng pada suatu hari di tahun 2004, yang menjadi salah satu saksi awal pembantaian massal di Bali barat (Foto: I Ngurah Suryawan)

Institutionalising Memories

Monuments and the institutionalisation of memory are two strongly related matters. In monuments there are many relations regarding struggles for space between truth and celebration, then institutionalisation of memory and truth into a collective truth that is recognised by the state, until it ultimately becomes the absolute truth. The presence of monuments, apart from remembering, also serves as an instrument for forgetting. The Pancasila Sakti Monument exists to remember the sacredness of Pancasila but forgets how the brutality of people killed their own brothers because of differences in political choice. The Bali bombing monument exists to remember the atrocities of terrorists, but forgets about the terrorist acts that we ourselves have carried out through unjust raids on migrant residents.

Through monuments, memory and the erasure of memory coalesce and become inseparable. History and also culture can be constructed by the authorities into a collective memory that is imposed upon the people. But the official history, once standardised, would certainly be disputed by the histories or personal memories of the actors who were "left out" from the stage of power. The exponents of the regime's victims have proved it all today. They are now loudly voicing for another version of history. This evidence is crucial for mapping and reviewing Indonesia's historical and cultural settings, concerning the role and contestation of the state and authorities, and provides another perspective on how we look into current historical and cultural studies. For this reason, history and also anthropology are indebted to the testimonies, memories, and narratives of the oppressed who were marginalised by this play of power.  

One of the said reviews is about political violence and vengeance that converge and contest in the arenas of political interests and power contestation. In Bali it all happens, where the battle of political interests relates discursively with cultural agendas, animosity, and culminates in acts of violence. For this reason, political grudges that result in acts of violence prevail when new forms of contestation emerge, such as the relationship between the state and political parties, and the use of cultural discourse for power. For me, everything takes place post-1965, when the New Order was established along with its development and plan on cultural tourism which was campaigned as an ideology in Bali. 

This campaign tightly covered up the resentment and recollection of the '65 violence and massacre in Bali. Balinese cultural campaign had become “sweet” with harmony where tourism builds Bali’s upright culture, and formed Bali’s cultural character that is open to accepting external cultural influences. It is such a construct that was built by the bureaucrats, in collaboration with the public as well as traditional figureheads, and solidified by the intellectuals. Studies concerning violence and vengeance, which are essential in dismantling Balinese culture, have been neglected. Students and intellectuals in Bali fought over opportunities and undercut each other to earn, scavenge, and even beg from the regime at the time. Ultimately, they became a part of the "Bali Harmony" campaign. 

Apart from the horrifying political violence, a myriad of traditional violence overlap in Bali. Tradition and culture apparently had been the trigger and source for the emergence of violence. Within it rages vengeance, political interests, power, status, and also conflicts that are more genealogical, related to blood and family. This contestation truly occurred in Bali with claims by residents of traditional villages – banjar masses who experienced hysteria after the implementation of regional autonomy. Cases of mass violence became proof that the claims of "empowering tradition" had given birth to local kings and rulers, local violence, local judgement. 

Balinese people post-violence

Balinese people in the "lost years" within the history of their civilisation, 1965-1966, experienced a full-fledged struggle against interests, conflicts, and local history with the internal subjectivity of their people. Everything was manifested in all kinds of local political conflicts, rituals, class/caste, land, personal sentiments, and all kinds of Balinese complexities. The '65 incident became the culmination point, a stage for the meeting of all kinds of conflicts and local interests, which had long been sown and grown in various violent events, with political penetration by the state and even international affairs in the political struggle between communism and capitalism.

The history of politics (of violence) of Balinese people can be a sufficient starting point in formulating critiques of its performance in the play of power. From there, will spring groups of subaltern Balinese who will dismantle the "sweet" imageries as well as the brutality of the people. These subaltern members will of course face their own brothers who are still co-opted by the politics of cultural and ethnic essentialism, which are newly clothed as the Ajeg Bali jargon – a call to preserve, strengthen, and protect Balinese culture. This jargon is the most important legacy of the formation of "cultured" Balinese people, the Sapta Pesonik of the "cultural tourism" regime, and the developmentism by the New Order. 

Various arenas became a platform for conflict for the Balinese people. Its root is the history of violence on this island in 1965-1966, which culminates in the current play of violence within the Indigenous communities – politics, disputes, and contestations over local power struggles. Yet fundamentally, there is irony and contradiction in the Balinese people. Within each Balinese person, there is an ongoing conflict against the self, image, and constructs that are attached to them. This is certainly the initial principle for a continuous change. 

Dismantling the arenas, stratagems, and political contestations of the Balinese people in 1965, and the relationships that entail, would give us an insight to unravel how Balinese cultural politics were created into what it is today. The ideological foundation of cultural tourism which became the paradigm of the Balinese people after 1966 was created over a blanket of the disappearance of 80,000 to 100,000 "red people", fellow krama, fellow Balinese. Not only that, Bali's plan to "build culture" and tourism destinations had also erased memories of the cruelty and brutality of the people, who in an instant turn sweet-faced in front of the tourists. 

In the 1965 event also lay an entry point to dismantling the Balinese human development industry that has become what it is today. It has produced people who are marginalised, silent, and suppressed their memories. On the other hand, there are also those who persist in developing the culture and tourism to become the "development heroes". It is behind all this, that Balinese cultural politics was designed and implemented throughout the people’s lives. Where development, culture, tourism, and power have become the principal values to be maintained.

Bali's human development industry began with the 1965 tragedy and its aftermath. But unfortunately, it stood on a shaky foundation – a history of violence that was erased, silenced, and prevented from ever speaking and sharing. History and narratives of those who were "lost" in an event of human disappearance in the history of violence in Bali. From there, emerges the foundation of the “upright” Balinese culture, but at the heart of that culture, there was a "truth" that was "removed" for the sake of a value called development and prosperity that go side by side with tourism. It is from this fragile and hypocritical foundation that the current Balinese people are formed.

In fact, now is the time to unravel and dismantle the power relations that created Balinese cultural politics. I hope that the people can be open, honest, and revisit the bitter and infuriating memories, their pain, and yet also the overwhelming victory or pride in being heroes during the events of 1965. Without the intention of pointing fingers and judging, it is important to provide a space to speak and share the pain and (hopefully) regret. This is because we all want to live without the burdens and haunting shadows of history that will never be forgotten, even if we try to remove them.

Melembagakan Ingatan

Monumen dan pelembagaan ingatan adalah dua hal yang berelasi kuat. Dalam monumen terkandung banyak relasi tentang perebutan ruang akan kebenaran dan perayaan, lalu pelembagaan ingatan dan kebenaran menjadi sebuah kebenaran kolektif yang diakui oleh negara, hingga akhirnya menjadi kebenaran mutlak. Kehadiran monumen selain mengingat juga hadir sebagai instrumen untuk melupakan. Monumen Pancasila Sakti hadir untuk mengingat kesaktian Pancasila tapi melupakan bagaimana keberingasan manusia membunuh saudaranya sendiri karena berbeda pilihan politik. Monumen bom Bali hadir untuk mengingat bagaimana kekejaman teroris, tapi melupakan tingkah teroris yang kita lakukan sendiri lewat razia penduduk pendatang.    

Lewat monumen, ingatan dan pelupaan terbentuk menjadi satu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sejarah dan juga kebudayaan bisa dikonstruksi oleh penguasa menjadi sebuah ingatan kolektif yang dipaksakan bagi masyarakatnya. Tapi sejarah resmi, ketika sudah dibakukan tentu akan memperoleh gugatan dari sejarah ataupun ingatan personal pelakunya yang “tersisih” dari panggung kekuasaan. Para eksponen korban rezim membuktikan itu semua saat ini. Mereka kini berteriak lantang menyuarakan versi sejarah yang lain. Bukti ini sungguh penting untuk memetakan dan mengkaji ulang setting sejarah dan kebudayaan Indonesia, tentang peran dan kontestasi negara dan kekuasaan, serta memberikan perspektif lain dari cara pandang kajian-kajian sejarah dan kebudayaan kini. Untuk itulah, sejarah dan juga Antropologi berhutang pada kesaksian, ingatan, serta narasi dari para kaum tertindas yang tersisihkan oleh pentas kekuasaan ini.

Salah satu kajian tersebut adalah tentang kekerasan politik dan dendam yang berelasi dan bertarung dalam arena-arena kepentingan politik dan kontestasi kekuasaan. Di Bali semua itu terjadi, dimana pertarungan kepentingan politik berelasi diskursif dengan wacana kebudayaan, ingatan akan dendam, dan berakhir dengan aksi-aksi kekerasan. Untuk itulah dendam politik yang berbuntut aksi-aksi kekerasan menyeruak ketika hadirnya bentuk-bentuk kontestasi baru, seperti relasi negara dengan partai politik, dan penggunaan wacana kebudayaan untuk kepentingan kekuasaan. Bagi saya, semuanya hadir pasca 1965, ketika orde baru hadir bersama dengan pembangunan dan wacana pariwisata budayanya yang dikampanyekan sebagai ideologi di Bali. 

Wacana ini menutupi rapat-rapat dendam dan ingatan akan kekerasan dan pembantaian ’65 di Bali. Wacana kebudayaan Bali menjadi wacana yang “manis” dengan harmoni dimana pariwisata membangun kebudayan adiluhung Bali, dan membentuk karakter kebudayaan Bali yang terbuka untuk menerima pengaruh kebudayaan luar. Kontruksi itulah yang dibangun oleh para birokrat, bekerjasama dengan para tokoh masyarakat dan adat, serta dikukuhkan oleh para intelektual. Kajian tentang kekerasan dan dendam yang esensial dari pembongkaran kebudayaan Bali menjadi terabaikan. Mahasiswa dan intelektual di Bali menjadi rebutan proyek dan saling tikam untuk mendapatkan, mengais, bahkan mengemis-ngemis pada rezim ketika itu. Akhirnya mereka menjadi bagian dari wacana “Bali Harmoni” ini.

Selain kekerasan politik yang mencekam tersebut, segudang kekerasan adat hadir tumpang tindih di Bali. Adat dan budaya ternyata telah menjadi pemicu dan sumber bagi lahirnya kekerasan. Didalamnya berkecamuk dendam, kepentingan politik, kuasa, status dan juga pertarungan yang lebih geneologi, darah dan keluarga. Kontestasi ini nyata terjadi di Bali dengan klaim dari warga desa adat – massa banjar yang mengalami histeria pasca diberlakukannya otonomi daerah. Kasus-kasus kekerasan massa menjadi bukti bahwa klaim “memberdayakan adat” telah melahirkan para raja dan penguasa lokal, kekerasan lokal, penghakiman lokal.

Manusia Bali pasca kekerasan

Manusia Bali dalam “tahun-tahun yang hilang” pada sejarah peradabannya, tahun 1965-1966, mengalami pergulatan penuh dengan kepentingan, konflik, dan sejarah lokal dengan subyektifitas internal para manusianya. Semuanya termanifestasi dalam segala macam pertarungan politik lokal, ritual, kelas/kasta, tanah, sentimen pribadi, dan segala macam kerumitan manusia Bali. Peristiwa ’65 menjadi titik kulminasi, sebuah pentas untuk bertemunya segala macam konflik dan kepentingan lokal, yang telah lama tersemai dan tumbuh dalam beragam peristiwa kekerasan dengan penetrasi politik negara bahkan internasional dalam pertarungan politik antara komunisme dengan kapitalisme.                    

Sejarah politik (kekerasan) manusia Bali bisa menjadi awal yang cukup untuk bahan pijakan dalam merumuskan kritik atas kiprahnya di pentas kekuasaan. Dari kritik tersebut, akan lahir kelompok-kelompok subaltern manusia Bali yang melakukan pembongkaran akan imaji "manis" serta perilaku beringas manusia Bali. Para anggota subaltern ini tentu akan berhadapan dengan saudaranya sendiri yang masih terkooptasi dengan politik esensialisme budaya dan etnis yang kini telah berbaju baru bernama jargon Ajeg Bali – sebuah seruan untuk melestarikan, mengokohkan dan menjaga kebudayaan Bali. Jargon ini adalah warisan terpenting dari pembentukan manusia Bali yang “berbudaya”, Sapta Pesonik dari rezim “pariwisata budaya”, dan pembangunanisme orde baru. 

Beragam pentas menjadi ajang pertarungan manusia Bali. Akarnya adalah sejarah kekerasan di pulau ini tahun tahun 1965-1966, dan berbuntut pada pentas kekerasan kini dalam masyarakat adat – politik, gugatan, dan kontestasi perebutan-perebutan kekuasaan lokal. Namun, pada hakekatnya ada ironi dan sikap yang kontradiktif pada manusia Bali. Di dalam masing-masing manusia Bali, pasti ada gugatan terhadap dirinya, citra dan konstruksi yang telah melekat pada dirinya. Ini tentu modal awal untuk perubahan terus menerus. 

Membongkar pentas, siasat, dan kontestasi politik manusia Bali tahun 1965-1966, dan relasi yang menyertainya, akan memberi kita penerangan untuk mengurai bagaimana politik kebudayaan Bali tercipta seperti sekarang ini. Landasan ideologi pariwisata budaya yang menjadi pandangan hidup manusia Bali pasca 1966 tercipta di atas selimut pelenyapan 80.000 hingga 100.000 “manusia merah”, sesama krama, warga Bali sendiri. Tidak hanya itu, rencana Bali “membangun budaya” dan destinasi pariwisata juga menyapu ingatan kekejian dan keberingasan manusia Bali yang mendadak menjadi berwajah manis di depan para pelancong.

Pada peristiwa 1965 jugalah terdapat pintu pembuka untuk membongkar industri pembentukan manusia Bali hingga menjadi seperti sekarang. Ia melahirkan manusia-manusia yang tersingkir, bungkam, dan memendam ingatannya. Tapi disamping itu, ada juga mereka yang gigih membangun budaya dan pariwisata untuk menjadi “pahlawan-pahlawan pembangunan”. Di balik semua itulah politik kebudayaan Bali dirancang dan diterapkan dalam semua kehidupan masyarakat. Saat pembangunan, budaya, pariwisata, dan kuasa menjadi harga mati untuk dipertahankan.

Industri pembentukan manusia Bali berawal dari Tragedi 1965 dan pascanya. Tapi sayangnya, ia berdiri pada alas yang keropos – sebuah sejarah kekerasan yang justru dihilangkan, dibungkam untuk bertutur dan berbagi. Sejarah dan penuturan yang “kalah” dalam sebuah peristiwa pelenyapan manusia dalam sejarah kekerasan di Bali. Dari situlah lahir landasan budaya Bali yang “adiluhung”, tapi di jantung kebudayaan itu terdapat sebuah “kebenaran” yang “dihilangkan” demi sebuah nilai bernama pembangunan dan kesejahteraan yang beriringan dengan pariwisata. Dari landasan yang keropos dan munafik itulah manusia Bali kini terbentuk.  

Justru kini saatnya untuk mengurai dan membongkar relasi kuasa terciptanya politik kebudayaan Bali itu. Saya berharap manusia Bali bisa terbuka, jujur dan kembali membuka kenangan pahit dan getir, kepedihan, serta bisa juga luapan kemenangan atau kebanggaan menjadi pahlawan saat peristiwa 1965. Tanpa bermaksud menyalahkan dan menghakimi, sebuah ruang bertutur dan berbagi rasa pedih dan (semoga saja) penyesalan penting untuk disediakan. Ini karena kita semua ingin hidup tanpa beban dan bayangan kelam sejarah yang tak akan terlupakan, meskipun coba untuk dihilangkan.

  1. Garuda Pancasila is the national emblem of Indonesia. The Garuda holds a shield on its chest and a scroll gripped by its legs. The shield represents the Pancasila, the five principles of Indonesia's national ideology, and the scroll is inscribed with the national motto Bhinekka Tunggal Ika (Unity in Diversity).

  2. "Haram" is used to refer to any act that is forbidden or sinful in Islamic law.

About I Ngurah Suryawan Tentang I Ngurah Suryawan

I Ngurah Suryawan is a lecturer at the University of Papua and Warmadewa University. He has a doctoral degree in Anthropology at Gadjah Mada University, with research scholarships from the Asia Research Institute and the National University of Singapore, as well as from Universiteit Leiden on the cultural ecology of the Marori and Kanum people in Merauke, Papua. He is currently writing a book titled "The Flame that Never Goes Out: Stories of Struggle from Papuan Villages."

I Ngurah Suryawan adalah seorang dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Ia menyelesaikan Doktor dalam bidang Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia melanjutkan penelitian pascadoktoral dalam bidang ekologi budaya dan transformasi masyarakat Marori dan Kanum di Merauke, Papua (2016 – 2017) dalam program ELDP (Endangered Languages Development Programme) SOAS London bekerja sama dengan ANU (Australian National University). Ia juga penulis buku Jiwa yang Patah (2012), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015) dan Papua Versus Papua: Perpecahan dan Perubahan Budaya (2017).