Prologue
Prolog
Leyla Stevens
On trajectories
(crisscrossing in the archive, a prologue)
The initial gathering for this project was to draw a line between two points in south Bali’s geographies. The first point is a banyan tree, which marks the site of a mass grave from Indonesia’s Genocide of 1965–66, where up to 80,000 people were killed in Bali alone. Here, the missing dead lie buried so deep that it is as if they do not exist. Their forced absence, from collective histories and memories, has reduced them to an abstract thought. Their presence registers more as a gap, a point of erasure in the landscape.
The second geography is a string of west-facing beaches that run from the village of Kuta, down to the southern tip of Uluwatu on the Bukit peninsula. This is the island’s most heavily touristed and populated region. It is arid land that makes for poor farming, with steep limestone cliffs that lead down to rocky beaches. Contained within this coastline are formative images of Bali as a series of white sand beaches, coconut trees, sunsets over the ocean and peaceful coastal villages that continue to sustain current tourist economies.
One entry point here is to think of place and its material fragments as an archive. To read landscapes for memory and trace. The other is to consider how an archive came to be told, and that this storytelling is never neutral. A method, drawn from music, is to make a contrapuntal reading of dominant topologies for counter melodies. That is, you connect events that appear disparate, as a way of revealing that which has been made absent.
In Bali, the symbolism of the primary north (kaja) – south (kelod) axis is what governs the cultural and spiritual ordering of space, connecting sacred points in the land. There is a line that runs from Agung, the king mountain, to the sea, connecting the sacred north to the profane south. This north/south axis is a symbolic trajectory that maps the design of a village, the placement of a house and a meridian line that runs through the body, from the head (north) to the feet (south).
The British naturalist, Alfred Russel Wallace also delineated a line that ran between Bali and Lombok, a division between the flora and fauna of this world. A line that runs along the deep stretch of sea between the two islands, with twin volcanic peaks rising up on each side. In providing an early theory for natural selection, Wallace provides what turns out to be one of the earliest travelogues on Indonesia in his book, The Malay Archipelago (1869). Upon facing the violent currents of Lombok Strait, local fishermen warn Wallace of their hungry sea, whose waves eat up everything that they can catch.
When Australian surfers ‘discovered’ Bali in the early 70s they instigated a completely new understanding of the southern coastlines around the island. Poor fishing land became coveted tourist land. White beaches of the south were suddenly more desirable than the black sand beaches of the north. In what became a cult film1 from this time, two white male surfers stepped out onto Uluwatu beach and inscribed their own desires onto pre-existing spatial histories and meanings. In doing so they sanitised recent geographies of violence from 1965 and re-positioned southern coastlines as the centre of the island. Uluwatu in this re-telling became a surf break and Bali became an island paradise.
It was my father who first revealed to me the mass grave that sits alongside the banyan tree. He witnessed this grave being made as a boy, and in his re-telling, we can remember the hundreds of people who continue to lie buried at this site. Another witness to that violence is the tree itself. Pohon beringin (banyan trees) are considered powerful locators in Bali. It is best to treat them with respect. They are thought of as attractors of spirits. In this way, these trees are also signals in the landscape to what remains invisible. And so we can think of this particular tree as the original witness to that night, an archive for the unseen.
An earlier version of this text was originally published in Dua Dunia, by Heart of Hearts Press, 2022.
Pada Lintasan
(Saling Bersilangan dalam Arsip, Sebuah Prolog)
Gagasan awal proyek ini adalah untuk menarik garis antara dua titik dalam geografi Bali Selatan. Titik pertama adalah sebuah pohon beringin, yang menandai lokasi kuburan massal dari Genosida Indonesia pada tahun 1965-66, yang menewaskan 80.000 jiwa di Bali saja. Di sini, mayat-mayat yang hilang terkubur begitu dalam sehingga seolah-olah mereka tidak ada. Ketidakhadiran mereka yang dipaksakan, dari sejarah dan ingatan kolektif, telah mereduksi mereka menjadi sebuah pemikiran abstrak. Kehadiran mereka lebih diterima sebagai sebuah kesenjangan, sebuah titik penghapusan dalam lanskap yang ada.
Geografi kedua adalah serangkaian pantai yang menghadap barat, yang membentang dari Kuta, hingga ke ujung selatan Uluwatu di semenanjung Bukit. Wilayah pulau ini yang paling ramai dengan wisatawan dan penduduk. Lahannya gersang tidak cocok untuk bertani, dengan tebing-tebing batu kapur yang curam yang mengarah ke pantai-pantai berbatu. Di dalam garis pantai ini terdapat imaji formatif Bali sebagai rangkaian pantai berpasir putih, pohon kelapa, matahari terbenam di atas lautan, dan pedesaan pesisir yang tenteram dan terus menopang perekonomian pariwisata saat ini.
Salah satu titik masuk di sini adalah untuk menafakurkan sebuah tempat dan fragmen-fragmen materialnya sebagai sebuah arsip. Untuk membaca lanskap sebagai ingatan dan jejak. Yang lainnya adalah untuk meninjau bagaimana sebuah arsip disampaikan, dan bahwa penyampaian tersebut tidak pernah netral. Sebuah metode, diambil dari musik, adalah dengan membuat sebuah bacaan kontrapuntal pada topologi-topologi dominan bagi rangkaian nada-nada penandingnya. Artinya, Anda menghubungkan peristiwa-peristiwa yang tampaknya berjauhan, sebagai sebuah cara untuk mengungkapkan apa yang telah hilang.
Di Bali, simbolisme dari poros utama utara (kaja) – selatan (kelod) inilah yang mengatur tatanan budaya dan spiritual dari ruang, menghubungkan titik-titik sakral di daratan. Ada sebuah garis yang terbentang dari Agung, sang raja gunung, hingga laut, menghubungkan utara yang suci dengan laut yang profan. Sumbu utara/selatan ini merupakan lintasan simbolis yang memetakan rancangan sebuah desa, letak sebuah rumah, dan garis meridian yang melintasi tubuh, dari kepala (utara) hingga kaki (selatan).
Sang naturalis dari Inggris, Alfred Russel Wallace, juga menggambarkan garis yang membentang antara Bali dan Lombok, sebuah pemisahan antara flora dan fauna di dunia ini. Garis yang membentang di sepanjang hamparan laut yang dalam di antara kedua pulau, dengan puncak-puncak kembar pegunungan berapi yang menjulang di setiap sisinya. Dalam menyajikan teori awal seleksi alam, Wallace menjabarkan apa yang kemudian menjadi salah satu catatan perjalanan paling awal tentang Indonesia dalam bukunya, Kepulauan Melayu (1869). Saat menghadapi arus deras Selat Lombok, nelayan setempat memperingatkan Wallace akan lautan mereka yang lapar, yang ombaknya memakan apa pun yang bisa mereka tangkap.
Ketika para peselancar Australia 'menemukan' Bali pada awal tahun 70-an, mereka memantik pemahaman yang benar-benar baru tentang garis pantai selatan di sekitar pulau itu. Lahan nelayan yang miskin menjadi kawasan wisata yang didambakan. Pantai-pantai berpasir putih di selatan tiba-tiba lebih diminati dibandingkan pantai-pantai berpasir hitam di utara. Dalam karya yang menjadi sebuah film kultus1 sejak kini, dua peselancar laki-laki berkulit putih melangkah ke pantai Uluwatu dan menorehkan cita-cita mereka ke dalam sejarah dan makna spasial yang sudah ada. Dengan melakukan ini, mereka membersihkan geografi-geografi kekerasan tahun 1965 dan mereposisikan garis pantai selatan sebagai pusat pulau. Uluwatu dalam penceritaan ulang ini menjadi sebuah kawasan selancar, dan Bali menjadi sebuah pulau surgawi.
Adalah ayah saya yang pertama kali mengungkapkan pada saya tentang kuburan massal yang terletak di samping pohon beringin. Dia menyaksikan kuburan ini dibuat saat masih anak-anak, dan dalam penceritaan ulangnya, kami dapat mengingat ratusan orang yang terus terkubur di situs ini. Saksi lain dari kekerasan tersebut adalah pohon beringin itu sendiri. Pohon beringin dianggap sebagai penanda lokasi yang ampuh di Bali. Sebaiknya diperlakukan dengan hormat. Mereka dianggap sebagai penarik roh. Dengan demikian, pohon-pohon ini juga merupakan sinyal-sinyal dalam lanskap mengenai apa yang masih tidak terlihat. Sehingga kita bisa memandang pohon ini sebagai saksi hidup malam itu, sebuah arsip untuk hal-hal yang tidak terlihat.
Versi sebelumnya dari teks ini pertama kali diterbitkan di Dua Dunia, oleh Heart of Heart Press, 2022.
Morning of the Earth (1972), directed by Alby Falzon.
Morning of the Earth (1972), directed by Alby Falzon.
Leyla Stevens is an Australian-Balinese artist who works within a lens-based practice. Her work has made a significant contribution to expanded documentary genres in Australian video art, as well as exploring the reparative potential of artmaking framed within political and social justice issues. Leyla's immersive multi-channel video installations have been exhibited widely through major national and international group exhibitions, including recent presentations at: Museum of Contemporary Art, TarraWarra Museum, UQ Art Museum, Art Gallery of New South Wales, Artspace Sydney, West Space, Guangdong Times Museum and Seoul Museum of Art. In 2021 she was awarded the prestigious 66th Blake Art Prize for her film, Kidung, which responds to Bali's histories of political violence.
Leyla Stevens adalah seorang seniman Australia-Bali yang berkarya dalam praktik berbasis lensa. Karyanya telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perluasan genre dokumenter dalam seni videografi Australia, serta mengeksplorasi potensi reparatif pembuatan karya seni yang dibingkai dalam isu-isu politik dan keadilan sosial.