Connecting the dots of history

Menghubungkan titik-titik sejarah

Bianca Winataputri

I often wondered what it means to understand my history – whether it be personal, such as my family's history; or collective, such as local and national histories. I questioned how history has been written, and from whose lens. Throughout my research into art histories of Indonesia, and Southeast Asia more broadly, I realised that the personal has always, in one way or another, intricately entwined with the collective. What is my history is ultimately part of our history. So, this raises the question, when does my history become ours? And what does it mean to understand our collective history?

Collaborating with artist Leyla Stevens, this notion of our history extends beyond national borders. Leyla's works critically reflect and interrogate histories of violence on social, cultural, political, and environmental fronts in Bali; and how, as she said in our earlier conversations, "we are all complicit". In her video work A Line in the Sea (2019), Leyla explores surfing culture and presents a feminist retelling of the 1972 Australian cult film Morning of the Earth. It cuts through the scenes of two Indonesian women surfers waiting for the next wave, interspersed with images of palm trees and coastal landscapes. It is somewhat known that the 1965 mass killings in Bali were conducted in the jungles, and the trees bearing witness to the brutality. Leyla thus layered these imageries as a reminder of the violence recorded within the environment. The trees, ocean, and coastlines are silent witnesses to this history, and the island's shifting social, cultural, and political landscapes. Drawing from Morning of the Earth, which was made just a few years after the genocide, Leyla draws attention to how Bali's dark past has been washed away with the popularisation and romanticisation of the island as a "paradise" for surfers. We see this same trajectory now playing with Bali's global tourism, and how the younger generations are emerging into society without much if not any knowledge of this tragedy. 

In developing the exhibition Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, Leyla and I were conscious of creating spaces for intergenerational dialogues on history – not only of 1965, but also histories on tourism, tradition, and environmental crises, among others. A few weeks before the exhibition opening, I sat down for a coffee with the late writer and performer Ibu Cok Sawitri at her home. I noticed she had books everywhere, and was an avid reader since she was young. I asked for advice on how to best approach young people to take part in our exhibition's public discussions, and her response continued to resonate with me: "Young people need to read more. And more importantly, they need to read more in order to connect the dots (of history)."1

Leyla's video works connect the dots of history, not just between Bali and Australia, but also with how we make sense of the past in the present context. The narratives presented in her works are not focused solely on the victims or perpetrators; or the good or evil; they invite the viewers to decide and to make sense of the stories themselves. In my earlier conversations with the artist, she expressed: 

We’re all complicit now. What we call the perpetrators and the witnesses and the victims, we're living in a generation now where we're all mixed together. So we have to live with this consequence.2 

Living with this consequence means actively participating and learning about the past on both personal and collective levels. As such, Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut positions Leyla's works as starting points for dialogues. Throughout the project, we encountered and listened to many voices from people of different backgrounds, age groups, and nationalities including local students, tourists, community leaders, and professionals. We also had families join our discussions which prompted the sharing of personal stories and memories that would otherwise remain untold – such as when the first commercial surfboards entered Bali; the economic shift towards coastal areas prompted by the appearances of resorts by foreign residents; and the uncovering of buried evidences, and with them also histories, under these well-known resort areas across the island. 

Through this sharing of stories, our histories collide. It became clear that regardless of our backgrounds, by participating in these discussions and the project itself more broadly, we are all mapping our connections to Bali, and to each other. History crosses borders of place and time, and if we look closely, we can all find connections to histories that may not seem like ours to understand. There is indeed a sense of openness, which is also characteristic of Leyla's practice, when we position artworks as starting points for conversations and knowledge exchange. Ultimately, this project is an invitation to connect the dots of history – yours, mine, and ours – and we look forward to continuing this journey. 

Saya sering bertanya-tanya tentang apa artinya memahami sejarah saya. Entah itu bersifat personal, seperti sejarah keluarga; atau kolektif, seperti sejarah lokal atau nasional; saya mempertanyakan bagaimana sejarah ditulis, dan melalui kacamata siapa. Sepanjang penelitian saya terhadap sejarah seni rupa Indonesia, dan Asia Tenggara secara lebih luas, saya menyadari bahwa yang personal, dalam satu atau lain hal, selalu terkait erat dengan yang kolektif. Apa yang menjadi sejarah saya pada akhirnya adalah bagian dari sejarah kita. Nah, ini menimbulkan pertanyaan, kapan sejarah saya menjadi sejarah kita? Dan apakah artinya memahami sejarah kolektif kita?

Berkolaborasi dengan seniman Leyla Stevens, gagasan tentang sejarah kita ini melampaui batas-batas nasional. Karya-karya Leyla secara kritis menggemakan dan menginterogasi sejarah kekerasan pada aspek sosial, budaya, politik, dan lingkungan hidup di Bali; dan bagaimana, seperti yang ia katakan dalam percakapan kami sebelumnya, "kita semua terlibat." Dalam karya videonya, A Line in the Sea (2019), Leyla mengeksplorasi budaya berselancar, dan menampilkan sebuah penceritaan ulang yang feminis dari film kultus buatan Australia tahun 1972, Morning of the Earth. Video tersebut memotong-motong adegan dua peselancar wanita Bali yang sedang menunggu ombak berikutnya, diselingi dengan pemandangan pohon palem dan lanskap tepi pantai. Merupakan rahasia umum bahwa pembunuhan massal tahun 1965 di Bali dilakukan di dalam hutan, dan pepohonan menjadi saksi terhadap brutalitas tersebut. Leyla pun menyusun imaji-imaji di atas sebagai pengingat akan kekerasan yang telah terekam dalam lingkungan hidup. Pepohonan, lautan, dan garis pantai adalah saksi bisu dari sejarah ini, serta perubahan lanskap sosial, budaya, dan politik di pulau ini. Mengambil referensi dari Morning of the Earth, yang dibuat hanya beberapa tahun setelah genosida tersebut, Leyla menarik perhatian terhadap bagaimana masa lalu Bali yang kelam telah dibasuh dengan popularisasi dan romantisasi pulau tersebut sebagai "surga" bagi para peselancar. Kita kini menyaksikan lajur yang sama sedang berlangsung dengan pariwisata global Bali, dan bagaimana generasi-generasi yang lebih muda tumbuh ke dalam masyarakat dengan sedikit atau bahkan tidak ada pengetahuan sama sekali tentang tragedi ini.

Dalam mengembangkan pameran Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, saya dan Leyla dengan sadar menciptakan ruang dialog lintas-generasi mengenai sejarah – tidak hanya tentang 1965, tetapi juga di antaranya sejarah pariwisata, tradisi, dan krisis lingkungan hidup. Beberapa minggu sebelum pembukaan pameran, saya duduk untuk minum kopi bersama mendiang penulis dan penampil Ibu Cok Sawitri di rumahnya. Saya perhatikan dia punya buku di mana-mana, dan rajin membaca sejak dia masih muda. Saya meminta nasihat tentang cara terbaik untuk mendekati anak-anak muda agar mengambil bagian dalam diskusi publik pameran kami, dan tanggapannya masih bergema di benak saya: "Kaum muda harus lebih banyak membaca. Dan yang lebih penting, mereka perlu lebih banyak membaca untuk dapat menghubungkan titik-titik (sejarah)."1

Karya-karya video Leyla menghubungkan titik-titik sejarah, tidak hanya antara Bali dan Australia tapi juga dengan bagaimana kita memahami masa lalu dalam konteks masa kini. Narasi-narasi yang dihadirkan dalam karya-karyanya tidak hanya berfokus pada korban atau pelaku; atau pada yang baik atau jahat; namun mengajak penonton untuk memutuskan dan memaknai sendiri cerita tersebut. Dalam percakapan saya sebelumnya dengan sang seniman, dia mengungkapkan:

 Kita semua terhubung sekarang. Apa yang kita sebut sebagai pelaku, saksi, dan korban, kita kini hidup di generasi dimana semua telah bercampur aduk. Jadi kita harus hidup dengan konsekuensi ini.2

 Hidup dengan konsekuensi ini artinya secara aktif berpartisipasi dan belajar tentang masa lalu, baik pada ranah personal maupun kolektif. Demikianlah, Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut menempatkan karya-karya Leyla sebagai titik-titik awal bagi dialog. Sepanjang proyek ini, kami telah bertemu dan mendengarkan banyak pendapat dari orang-orang dengan berbagai latar belakang, kelompok usia, dan kebangsaan, termasuk para pelajar lokal, wisatawan, tokoh masyarakat, profesional, dan lain-lain. Kami juga mendapati sejumlah keluarga bergabung dalam diskusi, yang mendorong pertukaran kisah dan kenangan personal yang belum tentu mendapat kesempatan untuk diungkapkan, seperti kisah ketika papan selancar komersial pertama kali memasuki Bali; pergeseran ekonomi ke wilayah tepi pantai yang dipicu dengan dibukanya resor-resor oleh penduduk asing; dan pengungkapan bukti-bukti yang terkubur, dan bersamanya juga sejarah, di bawah kawasan-kawasan resor yang tersohor di seluruh pulau.  

 Melalui pertukaran kisah-kisah ini, sejarah kita melebur. Jelaslah bahwa apa pun latar belakang kita, dengan berpartisipasi dalam diskusi dan proyek ini secara lebih luas, kita semua telah memetakan hubungan kita dengan Bali, dan dengan satu sama lainnya. Sejarah melintasi batas-batas tempat dan waktu, dan jika kita melihat dengan cermat, kita dapat menemukan kaitan-kaitan sejarah yang sekilas tampaknya bukan bagian kita untuk dipahami. Memang ada rasa keterbukaan, yang juga menjadi ciri khas dari praktik Leyla, ketika kita menempatkan karya seni sebagai titik awal untuk perbincangan dan pertukaran pengetahuan. Pada akhirnya, proyek ini adalah sebuah ajakan untuk menghubungkan titik-titik sejarah – milik Anda, milik saya, dan milik kita – dan kami pun berharap untuk dapat melanjutkan perjalanan ini.

  1.  Cok Sawitri in conversation with Bianca Winataputri, 8 August 2023.

  2. Leyla Stevens in conversation with Bianca Winataputri, August 2020. As cited in Bianca Winataputri, “Whose Story Is It?,” in Leyla Stevens: Dua Dunia (Dual Worlds), ed. Rachel Ciesla and Jaxon Waterhouse (Boorloo, Perth: Heart of Hearts Press, 2021), 54.

  1. Cok Sawitri dalam percakapan dengan Bianca Winataputri, 8 Agustus 2024.

  2. Leyla Stevens dalam percakapan dengan Bianca Winataputri.

About Bianca Winataputri Tentang Bianca Winataputri

Bianca Winataputri is an independent curator, writer, researcher, and podcast host based in Indonesia and Australia. She has a Ph.D. in Art History and Theory at Monash Art, Design and Architecture (MADA) and her research focuses on contemporary Southeast Asian art and exhibitions. Bianca was previously Public Programs coordinator at the Australian Centre for Contemporary Art (ACCA) and Assistant Curator of Contemporary Art at the National Gallery of Australia. Bianca’s recent projects include Talking Contemporary podcast (2021–ongoing), Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut (The Mountain Gives Way to the Sea), CushCush Gallery, Bali, Indonesia (2023), and Who am I: Chinese-Indonesian art practice post-1998, MADA Intermission Gallery, Melbourne (2019). Bianca is currently developing an international research and exchange project Seaweed Stories that connects seaweed creative practices, art making, innovation, and modes of thinking across Asia and Australia.

Bianca Winataputri adalah seorang kurator independen, penulis, peneliti, dan penyiar podcast yang berbasis di Indonesia dan Australia. Ia memiliki gelar Ph.D. di bidang Sejarah dan Teori Seni dari Monash Art, Design, and Architecture (MADA), dan risetnya berfokus pada seni dan pameran kontemporer Asia Tenggara. Ia sebelumnya menjabat sebagai Koordinator Program Publik di Australian Centre for Contemporary Art (ACCA) dan Asisten Kurator Seni Kontemporer di National Gallery of Australia. Proyek terbarunya meliputi siniar Talking Contemporary yang diluncurkan pada tahun 2021, pameran Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut di Cush Cush Gallery, Bali, pada tahun 2023, dan pameran Who am I: Chinese-Indonesian Art Practice Post-1998 di MADA Intermission Gallery, Melbourne, pada tahun 2019. Saat ini, ia sedang mengembangkan Seaweed Stories, proyek penelitian dan pertukaran internasional yang menghubungkan praktik kreatif, pembuatan seni, inovasi, dan cara berpikir seputar rumput laut di Asia dan Australia.