A Site of Memory: Efforts to Unravel the Construction of Collective Memory
Bali 1965
Situs Ingatan: Upaya Mengurai Konstruksi Ingatan Kolektif
Bali 1965
Bali 1965
Bali 1965
Juli Sastrawan
NO ONE would want to forget the moment they experienced an enchanting twilight, when they enjoyed a view of the calm sea, adorned with a golden glow from the shoreline of Kuta. No one would want to forget the moment their eyes were captivated by the splendor of Balinese dance, which seemed to sway like poetry in a dream. However, behind the veil of beautiful nature and intoxicating performances on this island, lies hidden wounds and dark stories that are often overlooked.
Bali is renowned as a tourist destination that indulges its visitors with scenic views and a unique culture. This island seems to be constantly flattered by a line of international awards, particularly recent ones such as TripAdvisor Traveler's Choice Award for World's Best Island Destination for three consecutive years (2021, 2022, and 2023), The Third Most Popular Travel Destination in the World (2023) by World Tourism Organization, ASEAN Tourism Award for Best Tourism Destination (2022), World Travel Awards for World's Leading Cultural Tourism Destination (2022), Asia's Leading Island Destination (2023), Best City for Expats to Live in Asia (2022) by Expat Insider, et cetera, et cetera. Nevertheless, a history of genocide that swept this island throughout 1965-1966 has been stalking like a shadow that knows neither day nor night – it continues to haunt, and moves to wherever this island tries to "go". Thousands of lives were lost, and many suffered, yet now all of that seems to have been forgotten, or rather tried to be forgotten, with the various touristic activities promoted.
As you enjoy a cocktail by the pool at a luxury hotel, or dance away at an evening party in Bali, does it ever cross your mind that millions of lives were tragically lost in the past? Bali is beautiful, but it is also a silent witness to a dark, bloody past that affects us to this day. It is a history that we will always strive to remember, write, and talk about. Meanwhile, the state's role which still produces narratives that obscure facts about the past, seems to convince us that we should not rely on them regarding this history; that this "forgetting" occurs structurally, and worse, it is carried out by the state.
Remembering history is not simply an act driven by nostalgia, but rather an effort to resist various forms of collective amnesia, distortion of facts, and repetition of the same mistakes. Remembering history is also not just about recalling the good events, it also includes the regrettable ones that are much more than brief accounts of the date and place of occurrence. In a broader context, remembering history is our effort to resist forgetfulness, fabricated truths, and an uncertain future. As part of the generation living today, it is our responsibility to maintain the truth in history and pass it on to the next generations with integrity and honesty.
In facing today's challenges, we should remember that history is more than just a record of the past, but is also a compass and map to the future. With this in mind, Situs Ingatan (Site of Memory) is an attempt to create a map that may be referred to for events in the past, especially in Bali, which will be important for us to be aware of, and utilise as provisions of the future.
Situs Ingatan is a project that attempts to trace and unravel collective memories of violence in Bali throughout 1965-1966. This project combines digital technology with oral history, producing an interactive map that allows the user to explore and comprehend the history of violence that has occurred in Bali. Oral history began to be widely used in the 1960s, especially as a method for uncovering stories from the marginalised, oppressed, and victimised communities.1 The underlining idea is that historical writing should be more than just stories about the mainstream communities and their thoughts, perspectives, and feelings. To write history "from the bottom", we cannot rely solely on the state archive or written records as sources of information. We would have to directly visit certain communities, such as workers, farmers, or refugees; and talk to them.2
Oral history is more than just a method to complement the shortcomings of written records, it has a much broader significance than that. As Paul Thompson stated, oral history has changed the entire nature of historical writing, "by introducing new evidence from the under-side, by shifting the focus [of historical inquiry] and opening new areas of inquiry, by challenging some of the assumptions and accepted judgments of historians, by bringing recognition to substantial groups of people who had been ignored. The scope of historical writing itself is enlarged and enriched; and at the same time its social message changes. History becomes, to put it simply, more democratic."3
The terror and violence of 1965-1966 is an "open secret" that must be approached through oral history. Almost everyone in Bali at that time, even those living in remote villages, knew about the arrests, rapes, and mass murders. They witnessed or heard stories about the tameng (civilian militia) on the streets hunting down 'PKI'; soldiers who came to rape village women; missing relatives, neighbours, and friends; victims' bodies lying on the road and floating in the river. Almost everyone knows and has evidence that the hunt for 'PKI' occurred. However, this does not necessarily make such information or stories easily accessible to us. Even though it is an open secret, no one wrote or talked about it publicly. As a consequence, gradually, information about this event will fade, and each generation after it, one after the other, will look at it more vaguely, until it eventually distances itself from its own history.
We often talk about how important understanding and respecting collective memory in understanding history and identity. But how can we access and share said collective memory in innovative and interactive ways?
TIDAK ADA yang ingin melupakan momen ketika mereka merasakan senja yang memikat, ketika memandangi laut yang tenang berhias kilau keemasan, dari bibir pantai Kuta. Tidak ada yang ingin melupakan momen ketika mata terpana menatap keindahan tarian Bali, yang bergerak bagai puisi di dalam mimpi. Akan tetapi, di balik tabir keindahan alam dan pertunjukkan yang memabukkan di pulau ini, tersimpan luka dan cerita gelap yang seringkali terabaikan.
Bali memang terkenal sebagai destinasi wisata yang memanjakan para pengunjungnya dengan pemandangan alam memukau dan kebudayaan yang unik. Pulau ini seolah selalu diikuti embel-embel penghargaan internasional, terlebih lagi tiga tahun terakhir seperti TripAdvisor Travelers’ Choice Award for World's Best Island Destination untuk tiga tahun berturut-turut (2021, 2022, dan 2023), The third most popular travel destination in the world (2023) oleh World Tourism Organization, ASEAN Tourism Award for Best Tourism Destination (2022), World Travel Awards untuk World's Leading Cultural Tourism Destination (2022), Asia's Leading Island Destination (2023), Best City for Expats to Live in Asia (2022) oleh Expat Insider, dan seterusnya dan seterusnya. Akan tetapi, sejarah genosida yang melanda pulau ini selama tahun 1965-1966 mengikuti layaknya sebuah bayangan yang tak kenal siang atau malam – ia terus menghantui, dan bergerak kemanapun pulau ini mencoba untuk “pergi”. Ribuan nyawa melayang, dan banyak yang menderita, tetapi kini semua itu seolah sudah terlupakan, atau lebih tepatnya mencoba dilupakan dengan aneka wisata yang dijajakan.
Saat Anda menikmati koktail di tepi kolam renang sebuah hotel mewah, atau menari di sebuah pesta malam di Bali, pernahkah terpikir tentang jutaan nyawa yang hilang dengan tragis di masa lalu? Bali memang cantik, tetapi ia juga merupakan saksi bisu dari masa lalu yang gelap, berdarah, dan berdampak pada kita hingga hari ini. Ia adalah sejarah yang akan kami coba untuk selalu ingat, tuliskan, dan bicarakan seterusnya. Peran negara yang sampai hari ini masih menciptakan narasi-narasi yang mengaburkan fakta-fakta di masa lalu, seolah meyakinkan kita bahwa memang kita tidak bisa berharap apa-apa soal sejarah ini kepada negara; bahwa "pelupaan" ini terjadi secara struktural dan, parahnya, hal itu dilakukan oleh negara.
Mengingat sejarah bukanlah sekadar sebuah tindakan bermotif nostalgia, melainkan sebuah upaya untuk melawan berbagai bentuk amnesia kolektif, distorsi fakta, dan pengulangan kesalahan yang sama. Mengingat sejarah juga bukan hanya tentang mengenang masa-masa indah, ia mencakup peristiwa-peristiwa gelap yang tidak hanya catatan singkat tentang tanggal dan tempat kejadian. Dalam konteks yang lebih luas, mengingat sejarah adalah upaya kita untuk melawan lupa, kebenaran yang direkayasa, dan masa depan yang tidak pasti. Sebagai bagian dari generasi yang hidup pada masa kini, merupakan tanggung jawab kita untuk menjaga kebenaran sejarah dan mewariskannya kepada generasi mendatang dengan integritas dan kejujuran.
Dalam menghadapi tantangan masa kini, kita hendaknya mengingat bahwa sejarah bukan hanya rekaman masa lalu, tetapi juga kompas dan peta untuk masa depan. Dalam konteks ini, Situs Ingatan merupakan upaya menciptakan sebuah peta yang bisa dirujuk untuk melihat hal-hal yang terjadi di masa lalu, khususnya di Bali, yang kemudian menjadi penting untuk kita sadari dan gunakan sebagai bekal di masa depan.
Situs Ingatan adalah proyek yang mencoba melacak dan mengurai ingatan kolektif tentang kekerasan di Bali dalam rentang tahun 1965-1966. Proyek ini menggabungkan teknologi digital dengan sejarah lisan, menghasilkan sebuah peta interaktif yang memungkinkan pengguna untuk menjelajahi dan memahami sejarah kekerasan yang pernah terjadi di Bali. Sejarah lisan mulai marak digunakan secara luas sejak tahun 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban.1 Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka. Untuk menulis ‘sejarah dari bawah’, kita tidak bisa hanya mengharapkan arsip negara atau rekaman tertulis sebagai sumber informasi. Kita harus langsung mendatangi komunitas tertentu, seperti buruh, petani, atau pengungsi; dan berbicara dengan mereka.2
Sejarah lisan bukan hanya sebuah metode untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dari rekaman tertulis, ia memiliki arti penting yang jauh lebih luas dari itu. Seperti ditulis Paul Thompson, sejarah lisan telah mengubah seluruh watak penulisan sejarah, "dengan menampilkan bukti-bukti baru dari sisi bawah, dengan memindahkan fokus [penyelidikan sejarah] dan membuka wilayah penyelidikan baru, dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian yang selama ini dipegang oleh sejarawan, dengan memperhatikan kelompok-kelompok orang yang selama ini diabaikan. Ruang lingkup penulisan sejarah sendiri telah diperluas dan diperkaya; dan pada saat bersamaan pesan sosialnya pun berubah. Sejarah, dengan kata lain, menjadi lebih demokratis."3
Teror dan kekerasan 1965-1966 adalah "rahasia umum" yang harus didekati melalui sejarah lisan. Hampir semua orang di Bali pada masa itu, bahkan yang hidup di desa-desa terpencil sekalipun, tahu akan adanya penahanan, pemerkosaan, dan pembunuhan massal. Mereka menyaksikan atau mendengar cerita tentang para tameng di jalan yang memburu ‘PKI’; tentara yang datang memperkosa perempuan-perempuan desa; saudara, tetangga, dan teman yang hilang; jasad korban yang tergeletak di jalan dan mengambang di sungai. Hampir semua orang mengetahui dan memiliki bukti bahwa pemburuan terhadap ‘PKI’ pernah terjadi. Akan tetapi, hal itu tidak serta-merta membuat informasi ataupun cerita-cerita itu dengan mudah kita ketahui bersama. Meskipun hal itu merupakan rahasia umum, tetapi tidak ada orang yang menuliskan dan tidak ada orang yang membicarakannya di hadapan publik. Konsekuensinya, lambat laun informasi tentang peristiwa tersebut akan memudar, dan setiap generasi setelahnya akan melihatnya dengan lebih kabur sampai akhirnya kelak berjarak dengan sejarahnya sendiri.
Kita sering berbicara tentang betapa pentingnya memahami dan menghormati memori kolektif dalam pemahaman sejarah dan identitas. Akan tetapi, bagaimana kita bisa mengakses dan berbagi memori kolektif tersebut dengan cara yang inovatif dan interaktif?
Situs Ingatan is an attempt to observe the construction of collective memory about the violence that occurred in Bali throughout 1965-1966 through stories packaged in a digital map. Situs Ingatan allows the reader to find points of violence and learn about the events that occurred at that location, including the people's memories of that place.
Take Toko Wong for example. Toko Wong is a grocery store providing daily necessities which was quite large and well-known in Negara. Toko Wong is located by the sidewalk, en route to Lelateng and Loloan villages. The owner of this shop was a Chinese named Wi Bian Chie and he was affiliated with PKI. He ran away after hearing the news about G30S, and his shop was raided. In this shop, many rooms were used to detain approximately 200 PKI members and sympathizers to be executed. In those rooms, they were shot by the soldiers, simultaneously, that their blood poured out and pooled throughout the room up to the ankles. To this day, when people are asked about Toko Wong, what emerges in their collective memory is of "blood as high as ankles".
Collective memory refers to the way a group of people remember and interpret events and narratives from their past. This phenomenon reflects how a group of people understand and interpret certain events that have an impact on their collective identity. Collective memory can be used as a tool to challenge or question dominant narratives or "official versions" of history that may have excluded or ignored certain voices. Therefore, collective memory can function as a form of resistance to historical washing or historical revision.
Situs Ingatan allows the wider audience to participate. Anyone may contribute in the form of stories, photos, or personal notes so that they may complete the existing narrative. This freedom allows diverse perspectives to enter and ultimately enrich collective understanding. Thus, this effort does not belong to a certain individual or group of people, but a collective one to narrate a more democratic history.
Oral history and Situs Ingatan are two fitting mediums for keeping history on track by giving a voice to groups that may be overlooked in official historical narratives. Both are powerful tools for educational practice and historical awareness. Both also enable young people to learn history in an engaging and relevant way. Lastly, both also allow us to write history more democratically together, beyond the fabricated one written and imposed by the state.
History often focuses on narratives from dominant perspectives. Today's young generation has the opportunity to create narratives that are more interactive and inclusive, including voices that might have been ignored or censored. The use of digital technology allows many people to see and understand what happened while also actively taking part in making history.
The island of Bali, with all its charm, is proof that even the most beautiful places can harbour deep wounds. The mass massacres in Bali is part of a bitter history, but it is critical to remember. Acknowledging, understanding, and learning from the past are important steps to prevent the same tragedy from recurring in the future.
Situs Ingatan adalah upaya untuk melihat konstruksi ingatan kolektif tentang kekerasan yang terjadi di Bali sepanjang tahun 1965—1966 melalui cerita yang dikemas dalam peta digital. Situs Ingatan memungkinkan pembaca melihat titik kekerasan dan mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi di lokasi itu, termasuk ingatan masyarakat tentang tempat itu.
Ambil contoh Toko Wong. Toko Wong adalah sebuah toko kelontong penyedia kebutuhan sehari-hari yang cukup besar dan terkenal di Negara. Toko Wong terletak di bibir trotoar jalan menuju Desa Lelateng dan Loloan. Pemilik toko ini adalah seorang Tionghoa bernama Wi Bian Chie dan dia berafiliasi dengan PKI. Dia lari setelah mendengar berita G30S, dan tokonya pun sempat dibobol. Di dalam toko ini, ada banyak ruangan yang dulunya dipakai menyekap kurang lebih 200-an anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh. Di dalam ruangan itu, orang-orang kemudian ditembak, didrel oleh tentara sehingga darahnya mengucur dan menggenangi seluruh ruangan sampai setinggi mata kaki. Hingga kini, ketika masyarakat ditanya mengenai Toko Wong, apa yang muncul dalam ingatan kolektif mereka adalah "darah yang setinggi mata kaki".
Memori kolektif merujuk pada cara suatu kelompok masyarakat mengingat dan menginterpretasikan peristiwa dan narasi dari masa lalu mereka. Fenomena ini mencerminkan bagaimana sekelompok orang memahami dan memaknai peristiwa-peristiwa tertentu yang memiliki dampak terhadap identitas kolektif mereka. Memori kolektif dapat digunakan sebagai alat untuk menantang atau mempertanyakan narasi dominan atau "versi resmi" dari sejarah yang mungkin telah menyisihkan atau mengabaikan suara-suara tertentu. Oleh karena itu, memori kolektif dapat berfungsi sebagai bentuk perlawanan terhadap pencucian sejarah atau revisi sejarah.
Situs Ingatan memungkinkan banyak orang untuk berpartisipasi. Siapa pun bisa memberikan kontribusi dalam bentuk cerita, foto, atau catatan pribadi sehingga bisa melengkapi narasi yang ada. Kebebasan ini memungkinkan beragam perspektif masuk dan pada akhirnya memperkaya pemahaman kolektif. Dengan demikian, upaya ini bukanlah sebuah upaya individu atau golongan tertentu, melainkan sebuah usaha kolektif untuk menarasikan sejarah yang lebih demokratis.
Sejarah Lisan dan Situs Ingatan adalah dua medium yang pas untuk meluruskan sejarah dengan cara memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang mungkin terabaikan dalam narasi sejarah resmi. Keduanya merupakan alat yang kuat untuk praktik pendidikan dan kesadaran sejarah. Keduanya juga memungkinkan generasi muda untuk belajar sejarah dengan cara yang menarik dan relevan. Yang terakhir, keduanya juga memungkinkan kita untuk bersama-sama menulis sejarah secara lebih demokratis, terlepas dari bayang sejarah ciptaan yang ditulis dan dipaksakan oleh negara.
Sejarah sering kali berfokus pada narasi dari perspektif yang dominan. Generasi muda masa kini memiliki kesempatan untuk menciptakan narasi yang lebih interaktif sekaligus inklusif, memasukkan suara-suara yang mungkin telah diabaikan atau disensor. Penggunaan teknologi digital memungkinkan banyak orang melihat dan memahami apa yang terjadi sekaligus juga turut aktif mengambil bagian dalam penyusunan sejarah.
Pulau Bali, dengan semua pesonanya, adalah bukti bahwa tempat yang paling indah sekalipun bisa saja menyimpan luka mendalam. Pembantaian massal di Bali adalah sebagian dari sejarah yang pahit, namun penting untuk diingat. Mengakui, memahami, dan belajar dari masa lalu merupakan langkah penting untuk mencegah terulangnya tragedi yang sama di masa depan.
There had been some oral history before the 1960s, but as a loose activity. Cited from J. Roosa, A. Ratih, and H. Farid, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Jakarta, Elsam, 2004, interest on oral history had been widely almost non-existent until the 1960s. One of the first projects was undertaken by researchers deployed by the government of F. D. Roosevelt during the Great Depression, The Federal Writer's Project (1936-38), to interview black people who had been slaves in the past. See George Rawick, ed., American Slaves: A Combined Autobiography, Westport, Greenwood, 1972-79.
S. Terkel. Hard Times: An Oral History of the Great Depression (New York: Pantheon, 1970) and 'The Good War': An Oral History of World War Two, New York, Ballantine, 1984.
P. Thompson, The Voice of the Past: Oral History, Oxford University Press, 1979, pp. 7-8.
Ada beberapa sejarah lisan sebelum tahun 1960-an, tetapi sebagai kegiatan yang lepas-lepas. Dikutip dari hal. 2 buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, minat sejarah lisan secara luas hampir tidak ada sampai tahun 1960-an. Salah satu proyek pertama dikerjakan oleh peneliti yang dikerahkan pemerintahan F.D. Roosevelt pada masa Depresi Besar, The Federal Writers’ Project (1936—38), untuk mewawancarai orang-orang kulit hitam yang pernah menjadi budak di masa lalu. Lihat George Rawick, ed., The American Slave: A Composite Autobiography (Westport: Greenwood, 1972-79).
Studs Terkel. Karya-karyanya, antara lain Hard Times: An Oral History of the Great Depression (New York: Pantheon, 1970) dan ‘The Good War’: An Oral History of World War Two (New York: Ballantine, 1984).
Paul Thompson, The Voice of the Past, h. 7-8.
Juli Sastrawan is an author, researcher, and translator. His works engage with archives and manuscripts across disciplines including literature, gender, politics, and history. Juli’s writings include short stories, novels, and critical essays that were recently featured in Deszinenation: Ground Zero Singapore Art Book Fair in 2019 and Jakarta International Literary Festival in 2022. Currently, Juli is developing #SitusIngatan, a project that combines art practices and academic research to explore the intricate relationship between family, everyday spaces, and Bali in the year of 1965.
Juli Sastrawan adalah seorang penulis, peniliti, dan penerjemah. Praktik artistik dan kecenderungan karya-karyanya banyak berangkat dari pergumulan arsip dan manuskrip yang bergerak spasial antara sastra, gender, politik dan sejarah. Ia menulis cerpen, novel, esai serta mengerjakan beberapa projek lintas disiplin yang beberapa di antaranya pernah dipamerkan dalam Deszinenation: Ground Zero Singapore Art Book Fair 2019 dan Jakarta International Literary Festival 2022 – Dewan Kesenian Jakarta. Ia sempat menjadi pemenang kedua Festival Literasi Nasional (2016) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Tahun 2022, ia terpilih sebagai Emerging Writers Ubud Writers and Readers Festival.