Foreword

Kata Pengantar

Suriawati Qiu & Jindee Chua

In 2019, we met Australian-Balinese artist Leyla Stevens, when she was doing her residency program. At that time, Leyla was in Bali for her film production, working together with local collaborators to create a piece called Kidung. Sometime later, after her return to Sydney, Leyla shared her work Our Sea is Always Hungry, which portrays the sensitive issue of the massacre of 1965, and we remembered how strong it made us feel. Not because of the inhumane conditions implied by the film narrative, but because of the beautiful and calming images of vast landscapes, dialogues, and other juxtaposed images that convey a profound feeling. It was when we told ourselves, 'This is such a strong and important work, it would be crucial for it to be shown and seen in Bali'.

On another occasion, we were introduced to Bianca Winataputri, an academic and emerging Indonesian curator based in Melbourne, whose research focuses on Southeast Asian contemporary art exhibitions and artistic practices. Later, we also invited her to be a mentor for our DenPasar Art+Design 2021 Curatorial Residency Program.

It is not a coincidence that Bianca and Leyla happened to know each other, as they are both practicing in the contemporary art scene in Australia, and share Indonesian roots. Initially, we shared with Bianca our thoughts on bringing Leyla's work to Bali, then followed by meetings that put things together.

In 2023, CushCush Gallery (CCG) hosted the exhibition Sang gunung menyerahkan jejaknya ke laut (The mountain gives way to the sea) from 11 August to 10 September in Bali, presenting a selection of three works by Leyla Stevens, and curated by Bianca Winataputri. The three selected works were: Kidung (2019), Our Sea is Always Hungry (2018), and A Line in the Sea (2019) – all referring to important historical events in Bali seldom spoken about: The massacre of 1965, and the 'surfing paradise' image that began around 1969 and further grounded the island's tourism branding in Australia and globally.

Although the works are Leyla's personal take on the historical events, we are also aware that they carry difficult topics to process and talk about in Bali's everyday life, which is often portrayed as a peaceful paradise island.

 Ultimately, we have all agreed since the beginning that the significance of showing the selected works is to raise awareness to these topics, engage the public in discussions, initiate dialogues between different communities, and invite critical conversations – not only for interested groups of people but also for the younger generations. With this intention, a series of public programs were thoughtfully put together, inviting local facilitators from diverse backgrounds such as academics, activists, writers, curators, and filmmakers, to share insights and encourage further discourses. Furthermore, some of these facilitators were invited to write essays about the topics they were looking into, as a response to the exhibition. The writings are now part of this post-exhibition catalogue, alongside the exhibition text.

From the opening night to the public programs which consisted of a guided walk and discussions on selected topics, the response has been overwhelming. The programs were well attended by diverse and intergenerational audience. Personally, it was a good surprise to realise that while many do not yet know of this painful history hidden in our timeline, there are active communities with old and young members who are dedicated to sharing this, so the truth may be known. Additionally, a writing workshop was added as a public program at the end, as it felt so important to encourage young people to utilise writing as a format of remembering, and expressing oneself.

Eventually, the exhibition ended, and the writers completed their writings. There had been a serious effort in putting this publication together, from the collection of writings, to editing, translating, designing, and its eventual launch as an e-publication in website format.  It reminds us of Leyla's intention when she created the three selected works: The importance of having documentation, as a means to preserve memories and thus affording others to know of its existence. The spirit of Sang gunung menyerahkan jejaknya ke laut, both in the exhibition and digital publication, is exactly that – to remember what has passed, so we may learn from it, be informed in our present, for our better future.

Heartiest congratulations to Leyla Stevens, Bianca Winataputri, and all invited writers I Gede Maha Putra, I Ngurah Suryawan, Juli Sastrawan, and Savitri Sastrawan. Our most tender affection to artist and activist Cok Sawitri, a beloved and respected figure in the creative and cultural sphere in Bali, who had been very much a part of the exhibition as well as this e-publication, who passed on 4 April 2024. We miss you!

Suriawati and Jindee
CushCush Gallery Founders
Bali
14 April 2024

Pada tahun 2019, kami bertemu dengan Leyla Stevens, seniman Australia-Bali, saat ia sedang menjalani sebuah program residensi. Saat itu, Leyla sedang berada di Bali untuk produksi filmnya, bekerja sama dengan para kolaborator lokal untuk menciptakan karya yang berjudul Kidung. Beberapa waktu kemudian, setelah ia kembali ke Sydney, Leyla menunjukkan sebuah karyanya, Our Sea is Always Hungry, yang menggambarkan isu sensitif pembunuhan massal tahun 1965, dan saya teringat betapa kuatnya perasaan saya terhadap hal tersebut. Bukan karena kondisi tidak manusiawi yang tersirat dalam narasi film tersebut, namun karena imaji-imaji pemandangan alam yang luas, dialog-dialognya, dan imaji-imaji lainnya yang disandingkan dengan indah dan menenangkan, menyampaikan perasaan yang mendalam. Saat itulah saya berkata kepada diri sendiri, 'Ini adalah karya yang kuat dan penting, sangat penting untuk ditampilkan dan dilihat di Bali.'

Pada kesempatan lain, kami diperkenalkan pada Bianca Winataputri, seorang kurator akademis muda berkebangsaan Indonesia dan berbasis di Melbourne, yang penelitiannya berfokus pada pameran seni kontemporer dan praktik artistik di Asia Tenggara. Kemudian, kami juga mengundangnya untuk menjadi seorang mentor pada Program Residensi Kuratorial DenPasar Art+Design 2021. 

Bukan suatu kebetulan bahwa Bianca dan Leyla saling mengenal, berhubung keduanya berkiprah dalam seni kontemporer di Australia, dan memiliki akar budaya Indonesia. Awalnya, kami membagi gagasan kami dengan Bianca untuk menampilkan karya Leyla di Bali, kemudian rencana pun tersusun melalui pertemuan-pertemuan berikutnya. 

Pada tahun 2023, CushCush Gallery (CCG) mengadakan pameran Sang gunung menyerahkan jejaknya ke laut (The mountain gives way to the sea) dari tanggal 11 Agustus hingga 10 September di Bali, menampilkan tiga karya terpilih oleh Leyla Stevens, dan dikurasi oleh Bianca Winataputri. Tiga karya tersebut adalah: Kidung (2019), Our Sea is Always Hungry (2018), dan A Line in the Sea (2019) – semuanya mengacu pada peristiwa sejarah penting di Bali yang jarang dibicarakan: Pembunuhan massal pada  tahun 1965, dan 'surga selancar' yang dimulai pada tahun 1969 dan kian memperkuat branding turisme pulau ini di Australia dan seluruh dunia. 

Meskipun karya-karya di atas merupakan pandangan pribadi Leyla mengenai peristiwa sejarah tersebut, kami juga menyadari bahwa mereka membawa topik-topik yang sulit diolah dan dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari di Bali, yang kerap menyandang imaji sebuah pulau surgawi yang damai. 

Pada akhirnya, kami telah sepakat sejak awal bahwa pentingnya menampilkan karya-karya terpilih adalah untuk meningkatkan kesadaran terhadap topik-topik ini, melibatkan publik dalam diskusi, memulai dialog antara komunitas-komunitas yang berbeda, dan mengundang diskusi-diskusi kritis – tidak hanya bagi sekelompok orang yang tertarik saja, tetapi juga bagi generasi muda. Dengan maksud ini, serangkaian program publik disusun dengan sungguh-sungguh, fasilitator lokal diundang dari berbagai latar belakang, seperti akademisi, aktivis, penulis, kurator, dan pembuat film, untuk berbagi wawasan dan mendorong wacana lebih lanjut. Selanjutnya, beberapa fasilitator diundang untuk menulis esai tentang topik yang sedang mereka cermati, sebagai salah satu bentuk respons terhadap pameran. Tulisan-tulisan tersebut kini menjadi bagian dari katalog pasca-pameran ini, bersama dengan teks pameran. 

Sejak malam pembukaan hingga program publik yang terdiri dari tur berpemandu dan diskusi mengenai berbagai topik, kami mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Program-program tersebut dihadiri oleh peserta yang beragam dan antar-generasi. Bagi saya pribadi, merupakan sebuah kejutan yang menyenangkan untuk menyadari bahwa meskipun banyak yang belum mengetahui tentang sejarah menyakitkan yang tersembunyi di lini masa kita, ada komunitas-komunitas aktif yang terdiri dari anggota tua hingga muda yang berdedikasi untuk menyuarakan hal ini, agar kebenarannya dapat diketahui. Selain itu, lokakarya menulis juga ditambahkan sebagai program publik menjelang akhir pameran, karena dirasa penting untuk mendorong generasi muda dalam memanfaatkan tulisan sebagai upaya mengingat, dan mengekspresikan diri. 

Akhirnya pameran pun berakhir, dan para penulis menyelesaikan tulisannya. Ada upaya yang serius dibalik penyusunan publikasi ini, mulai dari pengumpulan tulisan, penyuntingan, penerjemahan, desain, hingga peluncurannya sebagai publikasi elektronik dalam format situs web. Ini mengingatkan kita pada intensi Leyla saat menciptakan tiga karya yang ditampilkan: Pentingnya memiliki dokumentasi, sebagai sarana untuk melestarikan memori sehingga orang-orang lain dapat mengetahui keberadaannya. Semangat dari Sang gunung menyerahkan jejaknya ke laut, baik pamerannya maupun situs webnya, itu persis – mengingat apa yang telah berlalu, agar kita bisa belajar dari situ, dan mengambil hikmahnya, untuk masa depan bersama yang lebih baik. 

Selamat yang sebesar-besarnya kepada Leyla Stevens, Bianca Winataputri, dan seluruh penulis yang diundang I Gede Maha Putra, I Ngurah Suryawan, Juli Sastrawan, dan Savitri Sastrawan. Rasa kasih sayang kami yang paling dalam kami sampaikan kepada seniman dan aktivis Cok Sawitri, sosok di bidang kreatif dan budaya yang dicintai dan dihormati di Bali, yang telah menjadi bagian besar dalam pameran sekaligus publikasi elektronik ini, yang wafat pada tanggal 4 April 2024. Kami merindukanmu!


Suriawati dan Jindee
CushCush Gallery
14 April 2024

About Suriawati Qiu & Jindee Chua Tentang Suriawati Qiu & Jindee Chua

Suriawati Qiu is an interior designer and co-founder of the award-winning boutique design studio workshop CushCush in Bali. CushCush collaborates with the island’s artisans and craftsmen, using local natural materials to produce contemporary design pieces. In 2016, Suriawati and Jin Dee co-founded CushCush Gallery (CCG), an extension of the CushCush family conceived as a platform for creative collaborations in contemporary design and art. Born in Surakarta, Suriawati graduated with honors in Interior Design from the Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) in Melbourne, Australia. Beyond her practice in arts and design, Suriawati enjoys discovering new cultures through travel, food, and meeting people, and she is an avid believer in creative education for a better future and humanity.

Jin Dee Chua is a Malaysian architect and the design director at CushCush Gallery (CCG) in Bali. He also serves as its creative director, focusing on visual identities and exhibition design for various programs. Jin Dee believes that the world of arts and design should not be compartmentalised but should inspire each other through the constant process of unlearning, relearning, and rediscovering. This philosophy has been a key aspect of his journey. He graduated with honors in architecture from the Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) in Australia and began his creative practice with award-winning firms in Malaysia, Singapore, and Melbourne.

Suriawati Qiu adalah seorang desainer interior dan salah satu pendiri studio desain butik pemenang penghargaan di Bali, CushCush. CushCush berkolaborasi dengan pengrajin dan tukang lokal di pulau ini, menggunakan bahan-bahan lokal alami untuk menghasilkan karya desain kontemporer. Pada tahun 2016, Suriawati dan Jin Dee mendirikan CushCush Gallery (CCG), sebuah ekstensi dari keluarga CushCush yang dirancang sebagai platform bagi kolaborasi kreatif desain dan seni kontemporer. Lahir di Surakarta, Suriawati lulus dengan predikat terpuji di bidang Desain Interior dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) di Melbourne, Australia. Selain kerja-kerjanya di bidang seni dan desain, Suriawati senang menemukan budaya baru melalui perjalanan, kuliner, dan pertemuan dengan orang-orang. Ia percaya pentingnya pendidikan kreatif untuk masa depan dan kemanusiaan yang lebih baik.

Jin Dee Chua adalah seorang arsitek asal Malaysia dan Direktur Desain di CushCush Gallery (CCG) Bali. Ia juga menjabat sebagai direktur kreatif, dengan fokus pada identitas visual dan desain pameran untuk berbagai program. Jin Dee percaya bahwa dunia seni dan desain tidak boleh dikotak-kotakkan, melainkan harus saling menginspirasi melalui proses unlearning, relearning, dan rediscovering yang terus-menerus. Filosofi ini telah menjadi aspek kunci dalam perjalanannya. Ia lulus dengan predikat terpuji di bidang arsitektur dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Australia dan memulai praktik kreatifnya dengan firma-firma pemenang penghargaan di Malaysia, Singapura, dan Melbourne.