Being Contrapuntal1
Menjadi Kontrapuntal1
Savitri Sastrawan
The poetic approaches of Leyla Stevens' works seem to, at a glimpse, show the beauty of a place. However, it was not a case of beauty, but of what is beneath that beauty. What has hidden within it for years and somehow still not acknowledged for its stories as a whole. Leyla’s work for Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut (2023) at CushCush Gallery touches on Bali’s political violence in 1965-66, surfing tourism, the Wallace Line, Mount Agung, and nature’s unseen souls.
In her prologue, “On Trajectories (crisscrossing in the archive)”, Leyla Stevens states:
One entrypoint here is to think of place and its material fragments as an archive. To read landscapes for memory and trace. The other is to consider how an archive came to be told, and that this storytelling is never neutral. A method, drawn from music, is to make a contrapuntal reading of dominant topologies for counter melodies. That is, you connect events that appear disparate, as a way of revealing that which has been made absent.
In the case of Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, the exhibition not only focuses on the works but also opens up to more discussions through the public programs created. Hence the exhibition, as stated on Bianca Winataputri’s curatorial statement,
…is an invitation to rethink our relationship with the landscape around us, how we belong, and our responsibility within them. It is perhaps more important than ever to revisit these histories and reimagine our collective future.2
These discourses of duality become interesting and of what the Balinese knew as rwa bhineda - like, yin and yang, two sides of a coin that completes and balances each other. Even the meeting of the gunung (mountain) and the laut (sea), are the two different things that are believed to balance in Bali as well. Its meeting point of a mountain and a beach shore becomes important when it comes to the nyegara gunung procession of the dead becoming an ancestor. It gives chills, yet at the same time, Leyla’s works do try to imply a certain notion of bringing fairness to the ground of how unaccepted stories should complete the whole story, moreover a series of stories.
Pendekatan puitis karya-karya Leyla Stevens sekilas tampak menunjukkan keindahan suatu tempat. Namun sesungguhnya ini bukan mengenai keindahannya, melainkan apa yang ada di baliknya. Apa yang tersembunyi di dalamnya selama bertahun-tahun dan entah bagaimana kisah-kisahnya masih belum terungkap sepenuhnya. Karya-karya Leyla untuk Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut (2023) di CushCush Gallery menyinggung kekerasan politik Bali tahun 1965-66, wisata selancar, Garis Wallace, Gunung Agung, dan jiwa alam yang tak terlihat.
Dalam prolog "On Trajectories (crisscrossing in the archive, a prologue)" (Pada Lintasan (saling bersilangan dalam arsip, sebuah prolog)) oleh Leyla Stevens, ia menyatakan:
Salah satu titik masuk di sini adalah untuk menafakurkan sebuah tempat dan fragmen-fragmen materialnya sebagai sebuah arsip. Untuk membaca lanskap sebagai ingatan dan jejak. Yang lainnya adalah untuk meninjau bagaimana sebuah arsip disampaikan, dan bahwa penyampaian tersebut tidak pernah netral. Sebuah metode, diambil dari musik, adalah dengan membuat sebuah bacaan kontrapuntal pada topologi-topologi dominan bagi rangkaian nada-nada penandingnya. Artinya, Anda menghubungkan peristiwa-peristiwa yang tampaknya berjauhan, sebagai sebuah cara untuk mengungkapkan apa yang telah hilang.2
Dalam hal Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, pameran tidak hanya berfokus pada karya tetapi juga membuka diskusi yang lebih luas melalui program-progam publik yang dibuat. Demikianlah pameran ini, sebagaimana pada pernyataan kuratorial oleh Bianca Winataputri,
...merupakan sebuah ajakan untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan lanskap di sekitar kita, keberadaan kita, dan tanggung jawab kita di dalamnya. Ini mungkin lebih penting dari sebelumnya untuk meninjau kembali sejarah-sejarah ini dan membayangkan kembali masa depan kita bersama.2
Wacana dualitas ini menjadi menarik dan dikenal masyarakat Bali sebagai rwa bhineda – seperti yin dan yang, dua sisi koin yang saling melengkapi dan menyeimbangkan. Bahkan pertemuan gunung dan laut merupakan dua hal berbeda yang diyakini juga seimbang di Bali. Titik temu gunung dan tepi pantai menjadi hal yang penting dalam prosesi nyegara gunung dimana yang wafat menjadi leluhur. Merinding memang, tapi di saat yang sama, karya Leyla mencoba menyiratkan gagasan tertentu mengenai kesepadanan, akan bagaimana kisah-kisah yang tidak diterima pun harus melengkapi sejarah, apalagi serangkaiannya, secara keseluruhan.
The second public program was an artist talk that also involved Wayan Martino, a fellow videographer, and myself, as a translator, who collaborated with Leyla on these shown works. My collaboration with Leyla on Our Sea is Always Hungry (2018) started as a translator, and later on she needed a younger woman's voice to narrate it. Little that I know, Leyla’s film scores (rather than called a script) show one way to fill in the blanks in the archives and histories. As narrations and archives have interestingly become my own fascination the past few years, the realisation comes later, especially upon seeing the final product. When I was translating, it was purely what I did. I did not ask for the outcome, or any related imageries. I just imagined it, and that imagination slowly came to life in the video as I watched it.
An interesting point of the talk was a question from Komang Adiartha, owner of Kulidan Space. Komang observed that recent artworks about Bali created around the world have become more sadistic, coming from being so oriental-istically beautiful. Leyla answered that she did not realise it, or to have made it or placed it so. For sure she has no intention to show the works as sadistic. Yet it is possible, considering that these stories were not published before, imply brutality, and show that not everything is beautiful in or about Bali.
Bianca, the curator who is also the moderator of the talk, also asked for my response to the question. I added that there might be a tendency that what was seen in the past by the outsiders of Bali being beautiful is true and influenced Mooi Indie movements along with writings about Bali being a paradise. Yet, today, we as Balinese ourselves have a bigger chance and are able to admit or express what has happened with criticality. Leyla’s works here show a part of what is untold. Today, we have a chance to reclaim the stories that have been told. If seen sadistically, that could have been one of the audience’s responses.
Hence, with Leyla’s entry-point statement and this point of discussion, we can see how contrapuntal approaches can be an interesting way to deconstruct and fill in the blanks of the stories’ series. To some that might be a problem, to others it might be just that it is better to hear many sides of the stories - not only one history but rather histories. This is reflected in Rachel Ciesla and Jaxon Waterhouse’s essay for Leyla Stevens: Dua Dunia (2021), a publication in relation to an exhibition titled Dua Dunia (Dual Worlds) in Perth, Australia which showed the same films as the exhibition at CushCush. In their essay, Ciesla and Waterhouse state:
In bringing untold pasts into the present, the reproduction – be it film, photograph or webpage – offers alternate ways of thinking about time and space, history and geography…Things don’t just disappear. They linger, haunt. They crossover, emerge, re-emerge and disappear seemingly at will. There is no way to keep things buried. Within that world of the physical lies our way through to that of the spiritual, and through Stevens’ meditative readings of place, the multiplicity of worlds encapsulated within the one are revealed.3
Many relate that tourism was then kept up to beat despite the political violences that happened in that recent time. Ketut Nugra, Leyla’s father, as an audience member to the discussion “Tri Semaya: Past, Present, Future“ with lecturer Ngurah Suryawan and artist Made Bayak, shared how Bali’s tourism in the 1960-80 had several environmentally friendly concepts that were never delivered in the end. Creating the continuation of Bali's tourism today that is (still) chaotic.
Program publik kedua adalah wicara seniman yang juga melibatkan Wayan Martino, rekan videografer; dan saya sendiri, yang telah berkolaborasi dengan Leyla dalam beberapa karya yang ditampilkan. Kolaborasi saya dengan Leyla pada Our Sea is Always Hungry (2018) dimulai sebagai seorang penerjemah, kemudian ia memerlukan seorang pengisi suara wanita yang lebih muda. Sedikit saya tahu, skor film Leyla menyajikan sebuah cara untuk mengisi kekosongan dalam arsip dan sejarah. Berhubung narasi dan arsip telah kebetulan menjadi ketertarikan saya sendiri dalam beberapa tahun terakhir, saya belakangan menyadarinya, terutama saat melihat hasil akhirnya. Ketika saya menerjemahkannya, itulah yang betul-betul saya lakukan. Saya tidak bertanya apa yang akan ditampilkan atau imaji-imaji terkait. Saya hanya membayangkannya, dan perlahan-lahan bayangan itu pun terwujud dalam video tersebut sembari saya menontonnya.
Salah satu poin menarik dari wicara tersebut adalah pertanyaan dari Komang Adiartha, pemilik Kulidan Space. Komang mengamati bahwa karya seni tentang Bali yang diciptakan di seluruh dunia belakangan ini telah menjadi lebih sadistik, setelah sebelumnya dipandang sebagai keindahan oriental. Leyla menanggapi bahwa ia tidak menyadarinya, atau bila ia telah membuat atau menempatkannya demikian. Yang pasti ia tidak ada niat untuk menampilkan karya-karyanya secara sadistik. Hal ini mungkin juga dikarenakan kisah-kisah ini belum pernah dipublikasikan sebelumnya, menyiratkan kebrutalan, dan menunjukkan bahwa tidak semua hal itu indah di atau tentang Bali.
Bianca, kurator yang juga menjadi moderator wicara, juga menanyakan tanggapan saya akan pernyataan tersebut. Saya menambahkan, mungkin ada kecenderungan bahwa apa yang dianggap indah oleh orang luar di masa lalu adalah benar adanya dan mempengaruhi gerakan Mooi Indie serta tulisan-tulisan tentang Bali sebagai sebuah surga. Namun, kini, kami sendiri sebagai masyarakat Bali memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengungkapkan apa yang terjadi dengan kritis. Karya-karya Leyla di sini hanya menunjukkan sebagian dari apa yang tidak terungkap. Kini, kita berkesempatan untuk mengungkit kembali kisah-kisah yang yang telah disampaikan. Apabila dilihat secara sadistik, itu bisa jadi merupakan salah satu tanggapan dari penonton.
Demikianlah, melalui pernyataan Leyla dan pokok bahasan ini, kita dapat melihat bagaimana pendekatan-pendekatan kontrapuntal dapat menjadi cara yang menarik untuk mendekonstruksi dan mengisi kekosongan rangkaian cerita. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin menjadi masalah, namun bagi yang lain mungkin lebih baik mendengarkan banyak sisi cerita – bukan hanya sejarah yang tunggal, namun sejarah yang jamak. Hal ini tercermin dalam esai Rachel Ciesla dan Jaxon Waterhouse untuk Leyla Stevens: Dua Dunia (2021), sebuah publikasi untuk pameran lainnya berjudul Dua Dunia (Dual Worlds) di Perth, Australia, yang menampilkan karya yang sama dengan pameran di CushCush. Dalam esai ini mereka menyatakan,
Dalam membawa masa lalu yang tak tersampaikan ke masa kini, reproduksi – baik film, foto, atau halaman web – menawarkan cara berpikir alternatif tentang waktu dan ruang, sejarah dan geografi... Tidak ada hal-hal yang hilang begitu saja. Mereka tetap hidup, menghantui. Mereka bersilangan, timbul, dan lagi, kemudian menghilang seolah-olah sesuai kehendak. Tidak ada hal-hal yang dapat tetap dikubur. Di dalam dunia fisik itulah kita menuju ke dunia spiritual, dan melalui pembacaan meditatif Leyla tentang tempat, keberagaman dunia-dunia terangkum dalam salah satunya yang terungkap.3
Banyak yang menceritakan bahwa pariwisata terus digiatkan meski terjadi kekerasan-kekerasan politik belakangan ini. Ketut Nugra, ayah Leyla, sebagai salah satu penonton diskusi "Tri Semaya: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan" bersama dosen Ngurah Suryawan dan seniman Made Bayak menceritakan bagaimana pariwisata Bali pada tahun 1960-80an memiliki beberapa konsep ramah lingkungan yang tidak pernah diwujudkan, dan menciptakan keberlangsungan pariwisata Bali saat ini yang (masih) semrawut.
On another discussion, “Collective Memory: Mapping History and Uncovering Untold Stories of Bali” with writer Juli Sastrawan and curator Sidhi Vhisatya, one of the audience, Agung Alit, a founder of a space for 1965 political violence survivors and a place to hear the missing stories called Taman 65, stated what Bali had gone through: mass massacre, mass grave, mass tourism, mass problem. It cannot be denied that the 1965 political violence in Bali has its impact until today - the mass massacre and mass grave, closely covered with the narration of mass tourism, and becoming a mass problem of exploitation.
This unintentionally ties to the interactive prompts on the gallery wall, initiated by CushCush Gallery for this exhibition. One of the main themes is Place, with the subtitle: perubahan apa yang terjadi? (what kind of changes have taken place?) Two responses caught my eyes.
GENTRIFIKASI (gentrification) in uppercase;
and
BANYAK SAWAH HILANG (many rice fields gone) in lowercase.
Pada diskusi lain mengenai "Memori Kolektif: Memetakan Sejarah dan Mengungkap Kisah Bali yang Tak Terungkap" dengan penulis Juli Sastrawan dan kurator Sidhi Vhisatya, salah satu penontonnya, Agung Alit, selaku pendiri ruang penyintas kekerasan politik 1965 dan tempat mendengarkan cerita-cerita kehilangan bernama Taman 65, menyatakan apa yang Bali telah lalui: pembantaian massal, kuburan massal, pariwisata massal, masalah massal. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan politik tahun 1965 di Bali membawa dampak hingga saat ini – pembantaian massal dan kuburan massal, ditutup rapat-rapat dengan narasi pariwisata massal, dan menjadi masalah eksploitasi massal.
Hal ini kebetulan terkait dengan tulisan di dinding yang diinisiasi oleh CushCush Gallery untuk pameran ini. Salah satu tema besarnya adalah Tempat, dengan sub-judul: Perubahan apa yang terjadi? Ada dua jawaban yang menarik perhatian saya,
"GENTRIFIKASI" dengan huruf besar semua;
dan
"banyak sawah hilang" dengan huruf kecil semua.
Many of us know Bali as once an attractive place with its lush green rice fields and sunny beaches. Today, both lands have been taken over for more buildings than ever before – that compete for the scenic views.
On the other hand, Rachel and Jaxon made a very interesting interpretation of how the spiritual world is very close to the Balinese daily lives. Sadly, in practice today, we as the Balinese sometimes would either put the spiritual aspect away, or believe that with the right banten (offerings) everything will be solved and balanced. This is even found as a way to keep constructions for tourism going, while they take over natural reservoirs and fertile soils that should have been allocated for food plantation. This is done despite having believed, or at least been taught, of the rwa bhineda – in this case the sekala (seen) and niskala (unseen) – that the right banten needs to be balanced with the right actions as well. With more lands being sold away, is there going to be enough space remaining for us all to breathe? With the spiritual world in mind, what do they feel about this?
Will this be the new past geography of Bali? Is this a new archive in creation?
Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut has led me to think up to this point. A thought that has been unsettling in my mind for the past few years too. The exhibition and its public programs have certainly defined or confirmed some thought-provoking matters previously suppressed as untold stories. In addition, as speaker Ngurah Suryawan stated in the "Tri Semaya: Past, Present, Future" discussion, today we need more “oasis or reflecting spaces” for the Balinese youth to reconsider their positioning in facing Bali’s future.
Banyak dari kita yang mengenal Bali sebagai tempat yang memukau dengan sawah-sawah yang hijau subur dan pantai-pantai yang cerah. Saat ini, kedua lahan tersebut telah diambil alih untuk membangun lebih banyak bangunan dari sebelumnya – yang berlomba untuk mendapatkan pemandangan yang hijau atau laut yang indah.
Di sisi lain, Rachel dan Jaxon memberikan interpretasi yang sangat menarik tentang betapa eratnya dunia spiritual dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Sayangnya, pada praktiknya kini, kami orang Bali kadang-kadang mengesampingkan aspek spiritual ini, atau percaya bahwa dengan banten (persembahan) yang tepat, segala sesuatunya akan baik-baik saja. Hal ini bahkan dilakukan untuk menjaga agar bangunan-bangunan pariwisata tetap berjalan, walaupun mereka mengambil alih pasokan air alami dan tanah gembur yang seharusnya ditujukan untuk perkebunan pangan. Padahal sebenarnya masyarakat Bali juga percaya, atau setidaknya diajari, tentang rwa bhineda – dalam hal ini sang sekala (yang terlihat) dan niskala (yang tidak terlihat) – bahwa banten yang benar perlu diimbangi dengan perbuatan yang benar pula. Dengan semakin banyaknya lahan yang diambil alih, apakah akan ada cukup ruang bagi kita semua untuk bernapas? Dengan mempertimbangkan dunia spiritual, apa yang mereka rasakan mengenai hal ini?
Apakah ini menjadi geografi masa lalu Bali yang baru? Apakah ini arsip baru yang sedang dibuat?
Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut telah membimbing saya untuk berpikir hingga tahap ini. Sebuah pemikiran yang juga telah meresahkan saya selama beberapa tahun terakhir. Yang pasti, pameran dan program-program publiknya tentu telah mendefinisikan atau menegaskan hal-hal yang menggugah pikiran, yang terkubur sebagai cerita-cerita yang tidak tersampaikan. Dan sebagaimana disampaikan oleh Ngurah Suryawan dalam diskusi "Tri Semaya: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan", saat ini kita membutuhkan lebih banyak "oasis atau ruang refleksi" bagi generasi muda Bali untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka dalam menghadapi masa depan Bali.
Parts of this text were referenced for an essay published in Bahasa Indonesia for senirupa.id. See: S. Sastrawan, 'Saat Lautan Suara bertemu di CushCush Gallery: Catatan Pameran Leyla Stevens', senirupa.id, Bali, senirupa.id, 2023, https://senirupa.id/esai/saat-lautan-suara-bertemu-di-cushcush-gallery-catatan-pameran-leyla-stevens/ (accessed 1 February 2024).
B. Winataputri, Curatorial Statement, Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, Bali, CushCush Gallery, 2023.
R. Ciesla and J. Waterhouse, “The Tide Bides its Time: The Video Work of Leyla Stevens”, Leyla Stevens: Dua Dunia, 2021, pp. 16-17.
Sebagian dari tulisan ini mengacu pada essay yang diterbitkan untuk senirupa.id. Lihat: S. Sastrawan, 'Saat Lautan Suara Bertemu di CushCush Gallery: Catatan Pameran Leyla Stevens', senirupa.id, 2023.
B. Winataputri, Kalimat Kuratorial, Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut, Bali, CushCush Gallery, 2023.
R. Ciesla dan J. Waterhouse, 'The Tide Bides its Time: The Video Work of Leyla Stevens', Leyla Stevens: Dua Dunia, 2021, pp. 16-17.
Savitri studied Masters in Global Arts at Goldsmiths University of London, UK with research interest in the interdisciplinary possibilities in the arts and language within the global society and culture. Her curatorial credits include, "Merayakan Murni" with Ketemu Project (2015-2016) and "Mengingat 25 Tahun Reformasi" with Cemeti Institute for Art and Society (2023). Savitri’s writings can be seen in the Routledge Handbook of Cultural and Creative Industries in Asia (2019) and Ida Bagus Njana: Pematung Pembaru dari Desa Mas (2021).
Savitri Sastrawan adalah seorang praktisi seni dan bahasa asal Bali. Saat ini, ia mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan telah menempuh studi Magister Seni Global di Goldsmiths, University of London, serta Seni Lukis di ISI Denpasar. Penelitiannya berfokus pada eksplorasi kemungkinan-kemungkinan interdisipliner seni dan bahasa dalam konteks global, termasuk narasi sejarah, geografis, dan visual budaya yang berkaitan dengan Bali dan Indonesia. Savitri telah bekerja sebagai seniman, kurator, pengajar, dan penulis, serta aktif dalam kolektif Rupa Bali dan Gurat Institute. Ia telah mengkurasi pameran seperti Merayakan Murni dengan Ketemu Project (2015-2016) dan Mengingat 25 Tahun Reformasi dengan Cemeti Institute for Art and Society pada tahun 2023. Tulisan-tulisannya muncul dalam Routledge Handbook of Cultural and Creative Industries in Asia pada tahun 2019, dan Ida Bagus Njana: Pematung Pembaru dari Desa Mas pada tahun 2021.